“Serius ni Vins lu enggak ikutan liburan ke Bali? Plesiran-refreshing-surfing.
Ayolah Bung, Banyuwangi-Bali itu deket. Lu jangan terlalu workaholic gitu lah!” teriakan Mas Endri dengan logat Jawa Timurnya yang masih kental. Tapi berhubung dia sudah lama tinggal di Jakarta, maka sok-sok an ngomong bahasa pasarnya Jakarta yang kedengeran aneh.
Apa sih Mas Endri. Aku masih ada
kerjaan yang tak bisa diwakilkan siapa-siapa. Siapa juga yang sudah menugaskanku
untuk melakukan tugas penelitian ini? Toh dia sendiri kan yang menugaskannya
padaku. Sekarang malah ngerayu-rayu untuk ikutan plesiran, emang gampang? Alasannya sih
kondangan ke tempatnya Devi, tapi ujungnya? Foya-foya
di Bali, aku tidak terlalu suka dengan hingar-bingar Bali. Apapun itu.
“Vins woooy! Serius banget!” teriak Mas Endri yang sedari tadi
belum kutanggapi, ia menepuk bahuku. Kesal mungkin.
Aku masih bergeming di layar empat belas inch ini untuk merapikan instrument penelitian.
“Iyaa gue denger, pastinya gue
dateng di resepsinya Devi, tapi cuma sehari, eh enggak deng cuma beberapa jam
aja, entar langsung cao ke Baluran dan lanjut ke Meru Betiri terus keliling Banyuwangi. Sorry
Bro gue enggak ikutan plesirannya.
Kalau sekedar buat surfing aja,
pantai Plengkung itu enggak kalah keren Mas buat surfing!”
“Ah enggak asik lu! Kan cuma sehari
aja. Bahkan gue yang kasih ijin lu untuk sehari aja enggak penelitian,” nada Mas Endri mulai memaksa.
Aku kenal sekali sama Mas Endri,
dia baik, solidaritasnya tinggi, tapi
bukan pemimpin yang benar. Maunya anak buahnya semua
ikutan happy, tak terkecuali aku. Tapi
ah, Big
Brother ini
enggak pernah ngerti sama kebiasaanku. Aku paling tidak suka dengan suasana hingar-bingar Bali. Apalagi kalau jalan sama mereka
pastinya pada foya-foya, hura-hura. Terserah mereka
bilang aku sok seriuslah, workaholic,
atau apapun, sebab bagaimana mungkin berada di lingkungan yang tak membuatku
nyaman.
“Terserah deh Mas. Tapi gue emang
enggak mau molor waktu, soalnya pasca penelitian ini gue langsung cabut ke Eiger. Lo
pasti masih inget perijinan gue itu kan? Eiger itu liburan gue yang
sebenarnya.”
Mas
Endri menyerah kalah, lalu menepu-nepuk bahuku. “Ya
udahlah terserah lu Vins, lu mah emang keras kepala.Tapi sesaat kemudian Mas Endri nyengir-nyengir enggak
jelas, sambil mengarahkan telunjuknya kepadaku,
“ah, gue tebak jangan-jangan lu ke Eiger
buat ketemuan sama si Stefani?
Bagus-bagus deh, siapa tahu emang dia
jodoh lu!”
“Yaahh elo Mas ujungnya ke sana, bukan
gitu maksud gue..,” dan aku tak bisa meneruskan klarifikasi lagi, Mas Endri
sudah keburu menghambur keluar ruangan, sebelumnya sempat mengerlingkan mata
menggodaku. Ah, salah sangka lagi. Gini nasib jomblo, apa-apa dicurigai. Tiga
puluh satu tahun sudah hidup membujang, ada saja celotehan tak sedap yang
meluncur ke telinga ini. Apalagi Mas Endri, orang itu suka asal bicara saja.
Dulu ia pernah mengataiku Maho- hiyy..gila, manusia homo! Memang siapa yang
homo? Aku dikatakan homo hanya karena menolak untuk dijodohkan dengan gadis Bali, teman Devi.
aku sama sekali tak ada feelling sama Dian Ayu, temannya Devi
itu. Tapi bukan berarti Maho! Sekarang malah Stefani dibawa-bawa.
Ah..ya Stefani,
gadis Jerman yang pernah berkenalan denganku dan Mas Endri di Munich, saat kami menghadiri Enviromental Summit setahun yang lalu.
Sejak itu kami memang sering berkirim surat elektronik padanya. Mencintainya?
Entahlah..bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Iya, karena Stefani cantik, cerdas, tapi sederhana. Terlalu munafik rasanya jika seorang pria tak
menyukainya. Stefani Estefan Luhr, bukan
penganut katholik, tapi protestan. Itu bagus. Prinsipku jelas, mencari istri
harus yang seiman. Tapi bisa jadi bukan dia orangnya, sebab aku juga belum
yakin seratus persen dengan perasaanku padanya. Mengingat ada jarak ribuan mill
di antara kami. Juga aku belum
banyak melakukan pendekatan kepadanya. Butuh
waktu memang dan kepercayaan ekstra untuk meyakinkan hati ini. Dan memang benar
tebakan Mas Endri pada saat
pendakian nanti memang Stefani berencana
ikut bersamaku. Tapi bukan berarti juga Mas Endri bisa usil menggodaku. Tapi ya
sudahlah, biar dia seneng. Mungkin dia puas kalau sudah berhasil membuat
wakjahku memerah. Dan memang aku tak pernah bisa marah atau pun merajuk padanya,
di mataku dia pemimpin yang luar biasa. Luar biasa sinting maksudnya.
Jarang-jarang punya bos yang otaknya
setengah miring kaya Mas Endri.
Mungkin karena kebanyakan ilmu, atau memang bawaan lahir. Bodo amat ah!
Persetan dengan semuanya. Yang ada dalam kepalaku kini adalah Africa Van Java i am coming.