Rabu, 30 Januari 2013

Sang Mualaf Manis yang Berhati Lembut

Sebut saja Stephani, namanya. Usianya baru enam belas tahun sepuluh hari yang lalu. Stephani baru satu tahun masuk Islam, itupun karena Mamanya yang meminta untuk pindah ke agamanya. Sebab sebelumnya Stephani ikut agama Papanya. Dia keturunan Tionghoa. Stephani sih oke-oke saja waktu Mamanya meminta dia untuk masuk Islam. Tapi waktu itu dia belum bisa sholat, sudah dipanggilkan guru ngaji, si Stephani pun belajar Iqro. Tapi cuma sebentar, sebab dia pindah ke Jakarta, dan di Jakarta ini lah Stephani sekolah. 
Memulai kehidupannya sebagai muslim dari nol. Belum bisa sholat, apalagi ngaji. Tapi Stephani rajin sekali datang ke privat agama Islam yang udah disetting sang Mama dengan pembimbingnya. Awalnya sholat cuma magrib aja, itupun karena dijanjikan mau dibeliin ponsel smart sama Mama. Hmm..saat sholat pun dia masih kaku, gerakannya tertukar. Tapi lagi-lagi, Stephani rajin sekali datang ke bimbingan agama barunya itu. Pulang sekolah, doi sama sekali enggak ngeluh, padahal lapernya bukan main pasti. Jadi katanya setelah pulang dari skul, terus bimbingan agama Islam, habis itu nyampe rumah udah jam empat sore, langsung makan banyak-banyak, terus ketiduran deeh. Itu sih pengakuan polos pada saya.
Saya terkesima, dia jujur banget. Saat baca Iqro juga dia terbata-bata, tapi lama-lama bisa ngikutin juga. Sholat juga begitu, dari satu waktu terus naik jadi dua waktu, dan sampai tiga waktu. Dan sholat yang paling dia suka itu sholat subuh. Katanya sholat subuh bikin dia semangat di pagi hari. Smart ponsel udah dia dapatkan, sholatnya juga alhamdulillah makin nambah. Terus makin rajin datang ke bimbingan agama Islam yang penekanannya pada ma'rifatullah, ma'rifatul Islam, dan ma'rifaturrasul. 
Satu lagi, dia anak yang memiliki jiwa yanglembut ternyata, hatinya mudah sekali tersentuh. Anaknya menyenangkan, berada memang, tapi jauuuuh dari kesombongan. Jauh sekali dari stereotipe anak-anak berada masa kini yang hidup di kota besar. Sifatnya santun, cerdas, dan kritis. Sikap kritisnya bukan untuk membantah, tapi untuk mengerti dan meyakini. 
Makin lama, perkembangan Stephani dalam berislam makin menyenangkan. Meski belum menutup auratnya dengan sempurna, meski belum utuh sholat lima waktu, tapi setengah tahun terakhir ini, dia lebih religius. Kalau dulu ditanya kabar, "Stephani apa kabar?" dia cuma bilang, "Baik," sambil tersenyum manis sekali. Tapi sekarang-sekarang ini kalau ditanya kabarnya, bahkan sampai ditanya kabar ponselnya yang sempet rusak kemarin, sekarang ada penambahan kata "alhamdulillah" di depan kalimat jawabnya. Alhamdulillah, lidah Stephani sekarang makin terbiasa dengan kalimat thoyibah. 
Sahabat, kadang kalau saya melihat Stephani ini, kadang saya malu. Saya muslim sejak dilahirkan, tapi kadang semangat saya suka naik turun, sikap rendah hati dan lembut hatinya Stephani juga bikin saya berdecak kagum. Subhanallah, Maha Suci Allah yang memberikan hidayah pada siapapun yang Dia kehendaki, tak terkecuali untuk seorang ABG yang baik hati seperti Stephani. 
(diambil dari kisah nyata, dengan nama yg disamarkan-semoga bermanfaat)

Rabu, 23 Januari 2013

Review Novel Elang dan Bidadari, oleh: Hanifah, http://lullaticious.blogspot.com/2013/01/elang-bidadari.html

Ber-setting di Seoul-Korea Selatan. (Kalau kamu mulai membayangkan cerita-cerita fiksi dengan peran utama boyband ataupun girlband Korea, just Stop It! Okay? Karna kamu salah besar. Benar-benar salah besar.) Bisa kita lanjut? Baiklah..

Sekali lagi, ber-setting di Seoul-Kore Selatan, novel ini berkisah tentang Jingga, mahasiswa asal Indonesia yang mengikuti program budaya Korea di Hankuk University Foreign Studies. Whats so special about that?  Pasti kalian bakal bertanya-tanya. Mahasiswi Indonesia, di negeri orang, jauh dari tanah air, sudah bukan cerita yang asing bagi kita. Tapi, yang berbeda dari seorang Jingga adalah, bahwa dia adalah seorang Muslim yang taat beribadah, yang memegang teguh prinsip-prinsip Islam selama hidupnya, dan yang jelas mengenakan jilbab sebagaimana mestinya.

Pertama kali menginjakkan kaki di bandara Incheon, Jingga harus menghadapi tatapan-tatapan curiga dari banyak orang dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat penampilannya. (Rasanya pengen banget sewot sama orang-orang asing yang dikit-dikit curiga gara-gara liat jilbab yang kita kenakan. Tapi, what can we do? Hufht..). Bahkan di apartemen yang Ia tempati, dan di kelas tempatnya studi, Ia juga harus menerima perlakuan tidak mengenakkan dari beberapa orang yang memandang sinis agamanya.

Namun tidak semua orang membencinya karena agamanya. Dia juga bertemu dengan banyak orang yang baik padanya. Seperti Kim So-Eun dan Kim Jun-Su ~ dua bersaudara Kim yang menjemputnya di bandara,  Prof. Lee Won-Ji ~ yang menjadi tutornya selama Ia berada di sana, juga teman-teman sekelasnya seperti Pretty, Naoki, Nikita, dan Pierre. Bahkan Kim Young-Han, yang selalu bertemu dengannya dalam situasi yang tidak mengenakkan, tanpa disadarinya selalu mengawasi Jingga dengan tatapannya yang sedingin es.

Di Tanah Ginseng, Jingga bukan hanya harus bertahan memerjuangkan norma dan nilai yang dia anut, tapi juga berjuang melawan perasaan dari masa lalunya yang ternyata mengikutinya hingga Seoul. Di tambah perasaan baru pada sesosok pria yang terus membantunya selama Ia berada di sana. Namun, yang di sadarinya tidak akan bisa menjadi imamnya di masa depan (Iyalah, agamanya aja udah beda).

Sejujurnya, novel ini cukup menarik. Karena di saat saya mulai bosan, selalu ada yang membuat saya mengurungkan niat untuk menutup novel ini, dan kembali pada bahan-bahan kuliah yang sedang menanti untuk di lahap. Tapi, sayangnya perjuangan Jingga sebagai seorang Muslimah di Tanah Ginseng kurang mendapat perhatian yang lebih dari penulis (Maaf ya mbak Puput). Malah lebih cendrung bercerita tentang kisah cinta itu sendiri.

Aku lebih suka bagian perjalanan Kim Young-Han. Perubahan-perubahan yang terjadi pada dia selama cerita bergulir, dilema yang terus dia hadapi di dalam hati, perseteruan dia dengan keluarganya (terutama Almarhum ayahnya, dan kini kakaknya), dan kebingungan dia waktu dia sadar udah ketiduran di depan pintu apartemennya Jingga. Karna menurut aku, emosi seorang Kim Young-Han lebih terasa, dibandingkan emosinya Jingga.

Tapi, pada akhirnya semua kembalai pada selera pembaca kan? Intinya dari 5 bintang, aku kasih 2 buat buku ini.
See yaa~~~

Selasa, 22 Januari 2013

No Pain-No Gain!

Setiap orang pasti memiliki segudang keinginan, segudang cita-cita, dan apa yang sering kita sebut sebagai mimpi-mimpi. Apa yang kita rasakan hari ini, bisa jadi adalah mimpi-mimpi kita kemarin, atau mimpi-mimpi orang yang berusaha keras mewujudkannya. Impian memang terlihat bagai taman kota berpagar tumbuhan rindang dengan bunga-bunga indah bersemi. Tapi sejatinya, adalah gunung yang terlihat indah, namun ternyata gunung tersebut jika dilewati banyak jurang menganga lebar, dan topografi terjal yang tidak menerima para pendaki-pendaki cengeng untuk bisa menuju puncak, tanpa usaha untuk berlelah-lelah menggapainya.
Mungkin, apa yang kita usahakan sekarang, bisa jadi hasilnya tidak kita rasakan sekarang. Butuh waktu yang tidak sebentar dan usaha yang terus-menerus. Fokus pada tujuan merupakan salah satu kuncinya. Andai banyak cemoohan, dan tertawaan, bahkan cibiran, biarkan saja mereka mencemooh, mengejek, bahkan menertawakan apa yang kita usahakan dan kita impikan. Bukankah kisah Nabi Nuh membuat perahu di musim panas cukup kita jadikan pelajaran? Bukankah usaha puluhan kali dari Thomas Alfa Edison yang sekarang bisa kita nikmati juga mendapat cemoohan dan berbagai macam kegagalan? Belum lagi banyaknya contoh di sekeliling yang bisa kita ambil pelajaran.Begitu banyak orang-orang yang dimarginalkan tetapi malah sukses mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Menebus mimpi merupakan bagian tersakit yang pastinya akan dirasakan untuk orang-orang yang sudah bersungguh-sungguh dengan apa yang diinginkan. Sebab mustahil hanya dengan bertopang dagu, dan mengharap hujan emas, maka mimpi bisa terwujud. Sebuah ungkapan realistis, No Pain-No Gain!
Allahualambishowab
(hasil diskusi dengan seorang saudari-thanks sista ^^)

Jumat, 11 Januari 2013

Jangan Bangga Menyandang Status Mahasiswa, Apalagi Dengan Gelar Sarjana!


"Saya bingung mau kuliah apa langsung kerja, kalau kuliah-saya juga bingung mau ambil jurusan apa, kalau kerja saya belum siap kerja."

Kalimat di atas kurang lebihnya kalimat yang sering terungkap, menjelang detik-detik kelulusan. Bingung mau ke mana. Yup, setidaknya ada 4 K setelah lulus sekolah lanjutan atas.
1. Kuliah
2. Kerja
3. Kawin
4. Kagak ngapain-ngapain alias nganggur..upss..eeh, enggak ya?? hhe

Nah saya tidak akan bahas K yang ketiga atau yang ke empat, saya mau bahas K yang ke satu dan kedua saja.

Banyak di antara kita berpikir idealis. Lulus sekolah lanjutan atas cepat kuliah, dan akhirnya lulus, terus kerja dengan enak dan "nyaman", Ada juga yang berpikiran lulus sekolah bisa mudah mendapat pekerjaan lalu nyambi kuliah dan hidup nyaman. Ya, tidak ada yang salah memang dengan konsep idealis tersebut, tapi teman, ada berapa banyak orang-orang di luar sana yang berpikiran serupa. Kuliah atau Kerja, sama-sama untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Idealnya memang seperti itu, tapi kenyataan menjawab lain. Butuh usaha lebih keras untuk bisa berjuang di tempat kerja sehingga kita tidak menjadi orang-orang yang termarginalkan, juga butuh usaha yang keras untuk bertahan di lingkungan akademis (universitas/akademi) untuk juga tidak hanya sekedar menyandang status mahasiswa.
Nah, saya mau bahas K yang pertama. Kuliah!
Kuliah. Tapi kenyataannya, berapa banyak di antara kita yang kuliah tapi tidak mendapatkan apa-apa. Jika teman-teman kuliah hanya "sekedar" ingin tetap mempertahankan status sebagai "anak sekolahan" sebaiknya lupakan saja keinginan untuk kuliah, jika niatnya hanya ingin kuliah dengan harapan mendapat pekerjaan yang layak dan pantas jika sudah lulus nanti, sebaiknya buang jauh-jauh niatan untuk kuliah. Karena berapa banyak sarjana yang akhirnya jadi pengangguran, tidak memiliki kompetensi apa-apa. Sebab tanpa kuliah pun asalkan gigih dan ulet kita juga bisa kok menghasilkan banyak uang. Untuk apa kuliah buang-buang uang jika hasilnya tidak ada bekas/ atsar dari ilmu yang sudah ditularkan para praktisi pendidikan.
Banyak sekali mahasiswa yang tidak banyak tahu apa-apa, bukan hanya ilmu di dalam kelas, di atas kertas, tapi juga ilmu pendidikan. Begitu banyak lulusan universitas, menyandang gelar sarjana, tapi sama sekali tidak arif dalam menjalankan kehidupan dengan mengaplikasikan ilmu yang ia miliki. Mengapa? Sebab dari awal ada yang salah mungkin dari niatan. Niat kuliah hanya dilandasi "sekedar" sekedar mengikuti kemauan orang tua yang membiayai, sekedar ikut-ikutan trend, sekedar untuk bisa cari uang kelak setelah lulus. Alhasil, banyak sekali sarjana yang tidak siap ketika dilepas di "dunia" yang sesungguhnya. Bagaimana mau memiliki niat kuliah, jika dalam memilih kuliah saja tidak tahu apa yang menjadi kompetensinya. So, akhirnya jadi asal milih jurusan, dipilihkan orang tua, yang katanya akan banyak dibutuhkan di dunia kerja nanti. Miris, ketika bertemu dengan mereka yang menyandang status mahasiswa, tapi pola pikir sama persis dengan mereka yang masih duduk di bangku sekolah lanjutan atas. Yang malas membaca, baik membaca buku, ataupun membaca keadaan, alhasil mereka seolah tak ada isinya-konsep berpikir minimalis-padahal mengaku sebagai mahasiswa, dan nantinya kelak menjadi sarjana yang jangan-jangan tak ada isinya. Hanya bangga dengan gelar S di belakang namanya, yang menginginkan gaji besar dengan alasan "saya kan sarjana" padahal wawasan pas2an, keterampilan pas2an, pengalaman kerja masih belum ada, tapi masih mengadigungkan embel-embel gelar di belakang namanya.Lupakan kuliah, jika masih malas membaca.
Sabahat, jika masih ada yang ingin meneruskan sekolah/kuliah hanya untuk maksud seperti di atas, lebih baik lupakan saja. Buang-buang uang, waktu, pikiran, dan tenaga. Lain halnya jika di antara kita berniat melanjutkan sekolah karena dilandasi kesadaran bahwa menuntut ilmu sebagian dari ibadah dan berharap ilmu yang kita miliki bisa bermanfaat untuk orang lain, ok lanjutkan. Satu hal yang perlu saya garis bawahi, status mahasiswa, sarjana, master, doktor atau pun yang lain sama sekali tidak ada efeknya untuk dibanggakan, jika si penyandang gelar memiliki kompetensi minus, mental yang rendah dalam memandang sebuah kehidupan yang rumit. Gelar/status tersebut sama sekali tidak ada artinya. Tapi jika kita serius di bidang yang kita geluti, memaksimalkan potensi, memanfaatkan untuk kemaslahatan lingkungan, Insya Allah ilmu yang kita miliki akan menjadi berkah.
Jadi tak usah bingung mau lanjut ke mana, tanya pada diri sendiri, kompetensi diri ada di mana? Jika memilik kuliah, maka jadilah mahasiswa yang expert di bidangnya, dan jika memutuskan kerja, juga jadilah karyawan yang selalu mengembangkan potensi diri. Artinya, jadi apa kita nanti sama sekali tidak ditentukan oleh sederet gelar di belakang nama kita, tapi ditentukan bagaimana sikap terbaik kita dalam menghadapi dan menjalani proses kehidupan yang sebenarnya. Bukankah guru terbaik adalah pengalaman hidup, dan menuntut ilmu itu hukumnya wajib! di mana saja, tidak tersekat pada ruang yang bernama universitas, institut, atau akademi. Tapi jika telah mendapatkan kesempatan berada dalam ruang akademis tersebut, maka gunakan dan manfaatkan dengan sebaik mungkin. Itulah amanah sebagai seorang mahasiswa. Sebab kelak apapun yang kita lakukan, akan dipertanggungjawabkan di hadapanNya.

-AllahualamBishowab-

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...