Kamis, 18 April 2013

Semua Salah Guru?

Apa semua carut marutnya negara ini adalah kesalahan para guru?



Maaf kalau tulisan saya terkesan agak emosional nantinya. Semua ini karena berawal dari sebuah temuan-temuan saya pribadi. Bukan sebuah penelitian empiris, sebab memang tidak ada data-data empiris. Jadi ini hanya pendapat pribadi. Yang setuju mari introspeksi bersama, yang tidak setuju saya tidak memaksa. ^^

Temuan pertama. Jadi ceritanya begini, kemarin malam saya nonton sebuah program, yang judulnya saya sensor..pokoknya isinya tentang monolog lawakan deh. Temanya tentang pendidikan. Lalu ada seorang pelawak kelas nasional yang mengatakan bahwa murid itu sebenarnya jauh lebih pintar dari guru. Dia bilang coba guru selalu bertanya kepada murid, dan harus bisa, lalu muridnya diminta mengerjakan soal, sementara gurunya tidak, diam saja. Lalu tugas guru kan membenarkan mengapa malah menyalahkan? Aah, pokoknya pencintraan guru dibuat dodol, kacau, berantakan, dan tidak manusiawi. 

Temuan kedua. Mumpung masih anget tentang isu ujian nasional, maka saya angkat, plus untuk men-counter- isu-isu miring tentang guru/pengawas ujian. Sebab kemarin malam juga, di stasiun swasta nasional, menyinggung perihal ujian nasional. Dibahas tentang siswa yang bisa nyontek alias dapet bocoran. Lalu muncul peratanyaan, mana pengawasnya. Jadi intinya, tetap yang salah adalah guru. Saya boleh kasih alasan, mengapa pengawas selalu "kecolongan" sama siswa seperti itu? Begini ya: 
  1. Asal tahu saja, pengawas silang sebelum mengawas sudah dikumpulkan, diberi pengarahan oleh sekolah-sekolah yang akan diawas ujiannya. Mereka diberitahu bahwa pengawas tidak boleh mengganggu psikologis siswa. Peraturannya, pengawas tidak diperkenankan mondar-mandir alias jalan-jalan ke meja-meja siswa. Pengawas duduk manis saja di bangku yang telah disediakan oleh panitia ujian nasional di sekolah setempat. Itu sama artinya dengan ruang gerak pengawas dibatasi, silakan berpikir sendiri kalau sudah begitu.
  2. Pengawas diberikan kewajiban administratif yang tidak sedikit. Menuliskan nama siswa sebanyak tiga rangkap (satu kelas ssiwa berjumlah 20), lalu mengisi berita acara yang juga tiga rangkap, mengisi pakta integritas dua rangkap, dan mengedarkan presensi siswa.Itu semua atas instruksi lembaga pendidikan tingkat tinggi. Nah, kalau tugas pengawas banyak seperti itu, maka konsentrasi pengawas akan terbagi bukan? lalu apa yang akan terjadi saat pengawas sedang sibuk menulis tugas administratif seperti? bukankah itu sebuah kesempatan bagi siswa untuk melakukan aksinya.
Lantas yang seperti itu dijadikan bahan pembicaraan media. Dengan gamblang dan vonisan keji mengatakan bahwa pengawas seolah-olah memberi kesempatan siswa untuk melakukan aksi contek-mencontek, pengawas teledor, dan sebagainya. 

Temuan ketiga. Dunia pendidikan di Indonesia sedang terpuruk. Banyak sekali oknum guru yang melakukan tindakan tak bermoral, seperti pelecehan inilah, itulah, memukul muridlah..dan bla..bla..blaa..tapi hey!!! lihatlah itu hanyalah segelintir guru. Coba lihat, masih banyak guru bermoral di Indonesia, mengajar tulus dan tanpa mengharap pamrih di pelosok negeri. Tapi sayang sekali yang seperti itu? Tidak diblow-up!! Dan kalian tahu, betapa Indonesia memiliki putra-putri terbaik dalam olimpiade ilmu pengetahuan, bukankah itu ada kehebatan seorang guru di belakangnya? Tapi tak pernah diblow-up. Ya mungkin benar, bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Memang tak perlu dibahas-bahaslah kebaikan para guru itu, nanti amalnya bisa hilang. Tapi bukan berarti keburukan yang dilakukan oknum guru menjadi sesuatu yang digeneralisir.
Coba kita ingat, berapa banyak dari kita yang kalau reuni atau kumpul-kumpul menceritakan kebaikan guru-guru kita? Bukankah yang sellau kita gembar-gemborkan adalah kekurangan yang dimiliki oleh guru tersebut? kealpaannya, kegalakannya, dan lainnya. Manusiawi mungkin, tapi lihat apa yang terjadi hari ini? ketika penghargaan pada guru tidak ada? ujian nasional berantakan, adalah ujian diundur karena sola belum selesai dicetak, adalah bocoran beredar di mana-mana, maaf mungkin terlalu berlebihan kalau saya katakan itu akibat negara ini kurang adanya perhatian pada guru. 

Temuan keempat. Parahnya lagi, berapa banyak sinetron di Indonesia yang membuat imaji seorang guru yang aneh. Kolot, pemarah, galak, tidak bisa dibantah, dandaan kuno, dan beberapa image bodoh lainnya. Apakah begitu cara menghormati orang yang pernah memberinya ilmu? Maka tidaklah berlebihan jika negara ini muncul generasi-generasi yang hilang. 

Entahlah,..saya prihatin dengan keadaan ini. benar, kebetulan profesi saya juga guru, benar, saya memang terpaksa menjadi guru, ketika kemampuan saya cuap-cuap di depan khalayak dan hanya itu yang saya bisa. Daripada sekedar cuap-cuap tak berbekas, maka saya putuskan cuap-cuap dengan sedikit berbagi. Namun bukan berarti tulisan yang saya buat ini sekedar luapan emosional semata. Saya sadar sekali memutuskan berprofesi menjadi guru sama dengan siap makan hati, ya model gini ini nih. belum urusan keuangan yang pastinya berbeda dengan karyawan yang lain. Tapi bukan itu yang saya persoalkan. Yang saya persoalkan adalah ternyata sebagian besar dari kita tidak tahu bagaimana caranya bersikap baik pada orang yang menjadi tulang punggung sebuah negara. Hello..ketika bom atom menyerang Jepang, setelahnya Kaisar bertanya, "Berapa jumlah guru yang selamat?" Yang ditanya bukan tekhnokrat, bukan dokter, bukan artis apalagi, juga bukan wartawan yang mengabarkan informasi kepada dunia. Bukan mereka, tapi guru!!! lantas bagaimana di Indonesia?

Lupakan saja lagu hymne guru yang dibait awalnya "Terpujilah wahai engkau ibu-bapak guru...bla..bla..blaaa......" lupakan! itu adalah bait-bait verbalis. 

Temuan kelima. Saya tidak sepakat dengan ungkapan dari seorang public figure. Dia mengatakan bahwa guru pintar itu wajar, sebab ia hanya mempelajari satu mata pelajaran, sementara siswa harus mempelajari lebih dari sepuluh mata pelajaran. Tok..tok..tok..hallo..?? awalnya guru juga melalui berbagai proses pahit seperti yang siswa rasakan. Harus melalui berbagai macam mata pelajaran baik yang disukai ataupun yang tidak disukai, lantas semakin hari semakin mengecurutlah. Kelak bukankah para siswa juga seperti itu? pesulap begitu mahir dengan atraksi-atraksinya, kenapa? karena ia sudah terspesialisasi. Jadi hal tersebut tak bisa dijadikan bahan perbandingan.

Temuan berikutnya, tahukah kalian orang tua jaman sekarang begitu luar biasanya membela anaknya jika ia bermasalah dengan gurunya. Saya ingat, jaman saya sekolah, saya juga pernah dibentak oleh guru saya hanya karena saya gagap matematika, mungkin bagi saya hanya--tapi itulah cara guru saya agar saya mengerti matematika, dan tak pernah secuilpun saya mengadu pada orang tua kalau hari itu saya dibentak oleh guru saya, sebab sudah pasti orang tua akan tetap menyalahkan saya. Nah, tapi lihat..hari ini...ada orang tua yang dengan berani mengadu pada wali kelas anaknya kalau guru X diganti saja, sebab tidak benar, mendidik kok pakai membentak! nah itulah orang tua sekarang, menitipkan anaknya pada guru, tapi tidak mempercayakan proses pendidikan yang gurunya lakukan. Protes besar hanya karena urusan bentak-mmbentak, apalagi kalau sampai lebih dari itu. 

Pendidikan di Indonesia mulai kehilangan ruh, dan tak tahu arahnya akan dibawa kemana. Maka tak heran bahwa departemen yang menaungi pendidikan masuk ke dalam departemen paling korup kedua setelah departemen..... kacau kan? ketika ijazah mulai banyak diperjualbelikan, ketika orang hanya bangga dengan gelar-gelar yang mereka miliki dibanding kompetensi, ketika orang senang pamer dengan tingginya tingkat pendidikan mereka (padahal semakin tinggi padi harusnya semakin menunduk) jangan heran mungkin ini kesalahan kita bersama. Belum lagi masalah pembodohan yang tersistematis, bongkar pasang kurikulum, siswa dijadikan kelinci percobaan, sekolah mahal, dan seabgreg permasalah pendidikan. Dunia pendidikan yang suram, maka tidak terlalu berlebihan..ketika saya bertanya, sebenarnya guru itu mencetak orang model apa? yang pasti seperti lingkaran setan dalam dunia pendidikan.
Mungkin ada yang tidak tepat dalam hal mendidik, bisa jadi ada formula yang tidak pas. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Bapak-Ibu guru, mungkin ini ada yang salah dalam cara kita mendidik putra-putri bangsa. Ada evaluasi besar-besaran yang harus para guru lakukan, mungkin dengan terlalu memanjakan siswa, terlalu banyak excuse dengan siswa, atau mungkin juga karena terlalu keras pada siswa. Entahlah..ini hanya kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Juga untuk kita yang pernah/sedang menjadi murid, juga introspeksi besar. Bisa jadi mungkin karena kita yang tidak tahu/bisa bagaimana caranya menghargai seorang guru, membedakan guru dengan orang tua, dendam ketika kita mendapat perlakuan tidak enak dari guru tersebut, padahal asal tahu saja perlakuan buruk yang kita terima dari guru masih jauh lebih baik daripada perlakuan rival kerja kita nanti. Tak ada satupun guru yang memiliki semangat mendepak muridnya keluar dari sekolah, segalak apapun guru itu. Namun di dunia kerjaan yang serba gila, pastilah semangat mendepak, menyingkirkan akan kita dapatkan.
Sejatinya belajar di sekolah bukan hanya belajar pada deretan angka dan menghafal sejumlah teori. Tapi juga belajar bagaimana memperlakukan seseorang yang sepatutnya.Entah itu murid atau guru. Sekolah adalah tempat belajar bersama. Belajarna murid dan belajarnya guru. Alangkah indahnya jika terjadi situasi harmoni seperti itu, tentunya coreng moreng wajah pendidikan di negara tercinta kita tidak akan terjadi. Jadi entahlah..semua kepedihan di dunia pendidikan ini apakah salah guru atau salah bersama. Jawabnya mungkin, karena kita terlalu banyak mengadopsi pendidikan ala barat yang materialis, sehingga segi-segi pembangunan ahlaq sering kita lupakan, maka beginilah akibat yang kita rasakan.

Allahualambishowab.

Rabu, 10 April 2013

Saat Salju di Bavaria



Lelaki ini masih ingin berlama-lama, berteman dengan salju, padahal suhu telah sampai -10 derajat. Pria bermata biru ini duduk di bangku taman kota Munich- Bavaria. menyandarkan kepala, hatinya letih teramat sangat. Telah 7 tahun ia tinggalkan Bavaria, tapi semua tetap sama, Bavaria tetap anggun dengan pesonanya, Minuman bir kelas atas telah habis diteguk guna menghangatkan diri. Tak heran, Bavaria memang tersohor dengan kualitas bir diseantero negeri. Musim gugur kemarin, tepatnya bulan Oktober diadakan Oktobersfest, menyuguhkan beraneka minuman haram, nan menggoda dari penjuru negeri. Tetapi, bukan karena minuman alkohol tersebut yang menyebabkan pria jangkung ini berada di Bavaria, juga bukan karena keelokan kota Munich yang membuatnya ingin kembali lagi di kota ini lagi, tetapi karena seseorang. 

Seseorang yang praktis telah membuat kesempurnaan luka di hatinya. Praktis membuat segalanya yang ia miliki telah hilang dan porak poranda, seseorang yang telah merubah hatinya yang tadinya selembut malaikat, lantas lindap, berganti menjadi sekeji Iblis. Dan saat ini ia tengah berada di persimpangan jalan antara kembali menjadi malaikat tak bersayap atau selamanya bermetamorfosis menjadi Iblis paripurna. Pria ini masih bersandar di bangku taman dengan sebotol bir yang tergenggam, meski separuh isinya sudah habis tertenggak. Matanya merah, udara dingin menampar-nampar wajah yang kini terlihat kuyu. Butir-butir salju halus menerpa rambut pirangnya. Semua memang dingin saat ini, sedingin hatinya. Namun tidak dengan pipinya. bulir-bulir hangat turun perlahan dari mata birunya. Ini air mata kesedihan, kekecewaan, sekaligus kemarahan. Kembali ia menerawang kejadian 7 tahun silam. Kejadian itu, tepat di taman ini, Englishcher Garten, taman yang meninggalkan sayatan luka baginya.

Es tut mir leid (maafkan aku) Thom. Aku tak bisa menerima pinanganmu, kita tak bisa hidup bersama. Aku baru saja pindah keyakinan. Dan dari agama baruku ini, tidak mungkin aku menikah dengan pria yang tidak satu keyakinan denganku. Ich liebe dich (aku mencintaimu) Thom, masih mencintaimu, tapi aku ingin komitmen dengan agamaku kini, dan aku lebih mencintai Allah Tuhanku!" dengan tegas wanita bermata biru itu memberikan sebuah pernyataan .

Thomas Luhr, seperti tersengat listrik ribuan volt. Dia sama sekali tak menyangka dengan perubahan gadis ini. Dari ujung kepala sampai ujung kaki Thomas menatap gadis ini dalam-dalam. Gadis yang ditatap malah membuang pandangannya jauh ke depan sana.  Thomas ingin mencari cintanya dalam teduh mata gadis bermata biru saphire itu. Tidak, Allice tidak sedang bergurau pasti. Ia sungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya. Bahkan kini tubuhnya trebalut baju panjang, menutupi lekuk tubuhnya, dan penutup kepala segitiga menjuntai hingga menutupi bagian dada. Allice memang sudah mirip sekali dengan mahasiswi muslim asal negara Timur Tengah yang memegang teguh keyakinannya.

Sejujurnya Thomas tidak pernah sekalipun membenci muslim. Tidak, sungguh, meskipun ia penganut kristen taat, tapi ia bukan Islamophobia seperti Jonathan, Wilhelm, dan Bernhard. Selama ini bahkan ia bisa berhubungan baik dengan mahasiswa muslim yang lain. Tapi, sungguh ia begitu terpukul dengan kekasihnya yang telah pindah keyakinannya menjadi muslim. Thomas membeku, matanya terus menatap tajam pada Allice.

Alice Alenka Kohl telah 1 tahun mempelajari Islam secara diam-diam. Sebelumnya Alice telah menjalin hubungan denganThomas. Di matanya Thomas adalah pria teramat baik, Thomas pria yang begitu berbeda dengan kebanyakan pria-pria Munich pada umumnya. Thomas selalu melindunginya, menjaga kehormatannya, mengertinya apapun yang ia lakukan. Thomas penganut kristen protestan taat tetapi sangat toleran pada semua keyakinan di di negara ini. Thomas sering sekali mengatakan, bahwa ia merasa tak ada hak untuk menyakiti siapapun manusia di bumi ini, bukankah Tuhan telah memberi kesempatan mereka untuk hidup aman dan damai? lalu mengapa kita manusia menjadi begitu buruk dengan mengusik kehidupan pribadinya. Thomas juga pria berhati lembut, ia selalu tak tega jika melihat ada muslim mendapat perlakuan diskriminasi dari para Islamophobis. Secara terang-terangan ia membela, meski akhirnya ia mendapat musuh dari para Islamophobis tersebut. 

Itulah yang membuat Alice makin mencintai Thomas. Ditambah lagi dengan sikap "aneh" bagi pemuda seperti Thomas di negeri liberal ini. Thom tidak merokok, tak minum alkohol, bukan pula penganut seks bebas yang biasa dilakukan oleh muda-mudi di Eropa ini. Allice sudah mengenal Thomas sejak mereka masih di Senior High School, kemudian beranjak sampai ke bangku universitas.

Alice Aisha Kohl juga wanita yang berbeda dengan wanita Eropa pada umumnya, ayahnya yang berasal dari Jerman asli dan ibunya yang masih berdarah Rusia, beragama Katholik Orthodoks. Allice juga antipati dengan seks bebas, karena traumanya pada seorang teman wanitanya yang mati bunuh diri akibat perlakukan buruk dari teman kencannya di sebuah kamar hotel, belakangan diduga teman wanita Allice dibunuh oleh pasangan kencannya sendiri. Begitu menjijikkan. 
Bak gayung bersambut ketika ia memulai persahabatannya dengan Thomas, ternyata Thomas pun memilki prinsip yang sama, maka setelah itu ia semakin dekat dengan Thomas. Semakin dekat, semakin ada benih asmara di antara mereka. Dan Allice maupun Thomas tak kuasa menolak rasa. Dunia pasti tak akan percaya, jika ada muda mudi Eropa yang tidak melakukan hal-hal asusila dalam mengekspresikan rasa cinta mereka. Tapi inilah ajaibnya cinta Allice dan Thomas. Mereka tahun ini bahkan telah merencanakan pernikahan, pernikahan yang keduanya masih di usia dua puluh tahun.
Namun, rencana pernikahan itu sepertinya akan terganti dengan rencana besar yang lain. Setelah Allice mempelajari Islam, ia semakin tahu, bagaimana agama baru ini mengajarkan hubungan antara lawan jenis yang semestinya. Semua prinsipnya ada dalam agama ini, bahkan lebih kompleks dan detail. Ia tahu pun ternyata hubungan asmaranya dengan Thomas adalah sesuatu yang salah, yang tidak seharusnya. Sungguh ia mencintai Thomas, namun ia sedang berusaha menjalankan apa yang ia tahu. Allice hanyalah wanita biasa yang berusaha untuk menjadi baik, meski terseok-seok ia melakukannya. Untuk apa ia lakukan ini? Pertama untuk menjadi tenang di dunia. Agama ini begitu memberi ketenangan yang tidak bisa dibeli oleh apapun. Utamanya juga untuk dapat hidup kekal di surga, dan terselematkan dari api neraka. 

Kembali di taman ini lagi. Allice tak berlama-lama menanti jawab dari Thomas. Sejujurnya hatinya hancur, tapi ini lebih baik, sekaligus untuk menguji apakah Thomas benar-benar mencintainya. Seharusnya jika Thomas memang benar mencintainya, pasti pria tersebut akan menghormati apapun keputusannya, akan memaafkannya, dan akan melepaskannya. Allice sama sekali tidak menuntut Thomas untuk juga pindah pada agama ini, sama sekali tidak. Meski, ia begitu ingin. Namun ia sadar, untuk apa memaksakan sesuatu yang bukan wilayah teritorialnya. Masalah hidayah dan keyakinan, mutlak Allah lah pemiliknya. Dengan langkah pasti, Allice meninggalkan Thomas yang masih bergeming memandangnya. Sekali lagi, Thomas sungguh tak percaya dengan keadaan ini. 
###bersambung####

Jumat, 05 April 2013

Resensi Novel : Dengarlah Nyanyian Angin


"Peradaban adalah informasi. Tatkala sesuatu yang semestinya sudah diungkapkan dan diinformasikan sudah tidak ada, maka peradaban akan berakhir. Treeek ...OFF!"

"Tidak ada kalimat yang sempurna, sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna."


Novel Haruki Murakami, bahasanya gampang dicerna. Alurnya sederhana. Membaca novel ini hanya butuh waktu dua hari (itu juga udah dipake buat kerja macem-macem..hehe). Seputar anak muda di Jepang tahun 70-an. Dengan budaya "Baverly Hills". Tokohnya hanya ada beberapa. Pertama, tokoh Aku, pria, mahasiswa Biologi, budaya bebas, pencinta novel. Kedua, Nezumi, pria, anak konglomerat, putus sekolah, alkoholic, anti kemapanan. Ketiga, Jay, pria, bartender, Cina, usia 40 tahun. Terakhir, perempuan tanpa nama, alkoholic, terkesan "lugu", tapi "berbahaya". 

Setting tempat di Yamanote, salah satu pinggiran Tokyo dekat laut. Novel ini menyajikan budaya anak-anak muda Jepang yang anti kemapanan, mendewakan kebebasan, hingga akhirnya kebebasan membuat mereka jemu. Yang menarik lagi di novel ini, ada beberapa kalimat-kalimat sastra yang sarat perenungan, kadang bener juga gitu, tapi enggak semuanya saya sepakati. Cukup lah untuk melihat potret kehidupan mereka di luar sana, cukup untuk membuat saya berpikir "out of box thinkhing" nilai-nilai yang tersaji hanya sebatas untuk studi komparasi dengan zaman sekarang ini, dan di negara kita. Tapi kenyataannya, model-model seperti "mereka" di negara kita juga sudah banyak sepertinya. Sangat disayangkan ya. :(

Sejujurnya, enggak terlalu suka banget dengan novel ini, hanya karena saya sedang butuh referensi tentang Jepang dan kulturnya. Apalagi ada chapter yang sangat tidak saya suka (saya lewat-lewatin aja). Tapi yang emang saya acungkan jempol, penulisnya sangat cerdas dalam membuat plot dan dialog-dialog yang tidak picisan. 

So, apapun dengan buku ini, saya cuma kasih dua bintang dari lima bintang. Bagi sahabat yang menyukai tema-tema sosial dan kultural, silakan membaca. ^^

(sst..satu lagi fakta tentang buku ini. Buku ini saya dapatkan di sebuah toko buku yang sedang diskon, itu artinya buku ini saya beli dengan harga diskonan, sama dengan harga semangkuk my favorit food- Bubur Ayam depan Gramedia Matraman..hehehe ^^)


Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...