Selasa, 09 Juni 2015

Pedagang, Profesi Kelas Dua?

“Jika engkau seorang yang berkemampuan jadilah pedagang, namun, jika engkau setengah-setengah jadilah pegawai.” ----Shibushawa Eiichi—tokoh perubahan social Jepang antara era Shogun Tokugawa-Meiji.

            Meraup untung manis dengan berbisnis, tapi buka mata lebar-lebar pasti akan ada resiko yang mesti dibayar. Itulah dunia bisnis, dunianya para pemberani, berani menghadapi konsumen, berani pula menghadapi resiko, namun pastinya berani meraup hasil maksimal dan menyebar menjadi manfaat, apalagi jika mampu menjadi socioenterpreneur..maka hasilnya..wowwww.
            Hari sabtu kemarin ceritanya saya diajak sama suami ke sebuah mall, namanya Solo Paragon, kalau di Jakarta mengingatkan saya akan Pelangi (Plaza Semanggi) atau semodel FX Senayan. Di sana ternyata suami saya janjian ketemuan dengan rekan-rekannya saat kuliah dulu, karena kebetulan rekan suami saya pemilik kafe tenda pisang molen dan dawet ayu di food gardennya Solo Paragon. Makanan yang dijual sama dengan panganan di pinggir jalan, seperti pisang molen Karanganyar, pisang molen seharga tiga ratus rupiah yang pernah saya beli di Tawangmangu, yang gerobaknya seperti gerobak gorengan biasa. Dawetnya juga tak jauh beda dengan dawet-dawet pinggir jalan dengan gerobak sederhana, tapi yang membedakan adalah pengemasannya, dan penampilannya. Namun kedai milik rekan suami saya berbeda dengan yang di Tawangmangu, meski rasa mirip, tapi tempat yang membuatnya pisang molen itu berharga bukan tiga ratus rupiah.
            Dulu waktu Oom saya yang lulusan Tekhnik Industri dari Universitas ternama di Surabaya punya kafe tenda di bilangan Kota Surabaya, saya sempat berpikir, Oom saya itu sarjana, untuk apa kuliah susah-susah kalau hanya jadi pedagang, coba jika tidak usah kuliah, uangnya dijadikan untuk modal dagang saja, tak perlu repot menyusun skripsi jika hanya niat jadi pedagang. Tapi lama-lama saya berpikir, entah itu second choice dari Oom saya atau entah memang proyek iseng-iseng berhadiah dengan rekan-rekannya, yang saya dengar kafe tenda itu dikelola dengan cara tak biasa.  Sama dengan rekan suami saya yang usaha pisang molen di food gardennya Solo Paragon, dia berbeda, penampilan gerobaknya bukan gerobak standar seperti gerobak gorengan pinggir jalan, pengemasan pisang molen juga bukan semata pakai kertas bungkus gorengan ala kadarnya, dengan dihiasi banner di depan kedainya, dan duduk lesehan dengan meja kayu yang cukup eksentrik, bisa membuat pembeli nyaman dan ingin berlama-lama berada di sana, mungkin bukan hanya sekedar berlama-lama tapi bisa jadi tambah beli lagi.
            Itulah bisnis ditangan orang-orang yang memiliki kesempatan berpendidikan lebih baik. Menjadi pedagang bukan sesuatu yang buruk, bahkan seorang Mark Zukerberg adalah pedagang, dia menjual system jejaring pertemanan yang kita nikmati sekarang, juga Sakichi Toyoda yang seorang sarjana tekhnik pun berdagang, berdagang mobil hingga mendunia, begitu juga dengan Soichiro Honda, mereka semua berdagang, permasalahan hanya mayoritas warga kita lebih senang menjadi konsumen, dan seolah memandang bahwa pedagang adalah kelas dua. Seperti mengutip kata-kata seorang psikolog, Bapak Sartono Mukadis di sebuah surat kabar, "coba saja orang Indonesia diberikan dua pilihan, ada pacul dan sempritan untuk mencari uang, kira-kira pilih mana?" dan beliau mengatakan mayoritas orang kita akan memilih sempritan yang paling mudah mendapatkan uang, memarkir mobil, tidak dengan pacul yang susah payah di tanah yang bisa jadi tidak subur.
            Dulu saat saya baru lulus kuliah, saya jual buku, buku-buku keren terbitan salah satu penerbit ternama di Indonesia, dan dengan entengnya teman saya menyeringai, “jadi lo lulus sarjana cuma buat dagang aja?” dan saya waktu itu langsung mengkeret diomongin seperti itu, mendadak saya jadi rendah diri, padahal andai dulu saya tahu bahwa berdagang adalah sesuatu profesi yang mulia, sebab itu salah satu profesi Rasulullah SAW, panutan kita sepanjang masa.
            Mundur ke belakang lagi, suami saya pernah mengajak saya ke daerah Wonogiri, di sana saya berjumpa dengan senior suami saya, yang lagi-lagi seorang sarjana, di tengah kesibukannya sebagai penyuluh pertanian dia juga berbisnis fotokopian dan penyewaan rental internet, lagi-lagi berdagang. Selayaknya seorang sarjana, bisnisnya dikelola dengan baik, dengan manajemen yang baik, hingga usahanya cukup besar.
            Nasi kucing, kalau di Jakarta kita mengenal nama panganan itu bukan? Nasi yang dibungkus kertas dengan ukuran setengah porsi dan yang pasti tidak mengeyangkan jika makan satu bungkus, dan disajikan di atas gerobak yang kita kenal dengan sebutan angkringan dengan beragam lauk pauk yang nantinya akan dibakar kembali dengan arang yang mengepul, kalau di Jogja-Solo dikenal dengan Angkringan HIK. Dan itupun dimiliki oleh senior suami saya yang lainnya di daerah Sukuharjo, di tengah-tengah kesibukannya menjadi seorang guru di pagi hari, malamnya dia tanpa gengsi menjadi pedagang angkringan dengan rekan-rekannya, meraup keuntungan fantastis, dan angkringan yang selalu ramai dengan pengunjung, sebab angkringan tersebut tidak biasa, tidak seperti angkringan tradisional pada umumnya. Menunya beraneka, kemudian diiringi dengan pertunjukkan musik secara live seolah-olah kita sedang berada di kafe prestisius.
            Masih ada lagi, junior suami saya, yang memiliki lahan pertanian buah dan sayuran, tak hanya sekedar menjual melon dengan biasa saja, tapi melon dikemas dengan papper bag tak biasa, dia sengaja memesan sebuah papper bag istimewa untuk semakin menambah keistimewaan melonnya tersebut. Alhasil, harga melon pun menjadi tak biasa, dia seorang sarjana pertanian.
            Melihat fenomena seperti itu saya dan suami yang baru merintis usaha, dan memberanikan diri mengadu nasib menjadi pedagang tetap optimis, bahwa berdagang bukanlah pekerjaan orang kelas dua. Para pebisnis sukses juga diawali dengan menjadi pedagang gurem yang inovatif dan melalui pemikiran-pemikiran cerdas. Maka, tak ada istilah sarjana atau bukan, bahkan seorang professor pun  tak akan masalah jika ikut meraup keuntungan di dunia perdagangan.


Allahualambishowab
Selamat Malam
 Putse-Sragen, 9 Juni 2015

Sabtu, 06 Juni 2015

Ketika Cinta Berbalas Cinta




Cinta adalah karuniaNya, bila dijaga dengan sempurna
Resah menimpa, gundah menjelma
Bila cinta tak dipelihara
(The Fikr-Cinta)

            C.I.N.T.A, tulisan saya ini kembali membahas cinta. Karena memang frase yang satu ini tak akan pernah habis dan usang untuk terus dibicarakan. Terus,terus, dan terus. Ada pemuja cinta, ada penghujat cinta, pengkhianat cinta banyak, tapi untuk orang-orang yang mengerti bagaimana cinta yang sebenarnya itulah yang sedikit. Allahualam bishowab, apakah saya termasuk yang mengerti atau tidak. Tapi selama yang saya jalani bahwa cinta itu hadir bersama dengan rasa tanggung jawab, keikhlasan, dan rela berkorban. Cinta itu memahami, menghargai, dan mau mendengar. Dan cinta yang benar itu pasti akan berbalas cinta.
            Sebenarnya tulisan ini berawal dari sebuah manuskrip tentang seseorang yang patah hati karena cinta, saya sebut saja Mbak X ya, agar privasi terjaga. Jadi dalam manuskrip tersebut, dia mengatakan bahwa masih sulit melupakan orang yang pernah hadir dalam hidupnya, orang yang pernah ia sebut cinta, padahal sang pria sudah memilih yang lain, sudah bertanggung jawab pada perempuan lain untuk menjadi imamnya, dan bukan Mbak X yang dipilih. Lama, berbulan-bulan, Mbak X tak jua bisa menepis rasanya, rasa sakitnya ia nikmati, ia tenggelamkan dalam memori dengan pria tersebut. Masih mencintai dalam diam. Bisa jadi waktu belum berbaik hati dengannya, tapi bisa jadi pula, ia yang tidak mau waktu berputar. Bisa jadi ia mendiamkan waktu, ia masih memijak duri dan menggenggam bara, perlahan-lahan melukai diri, menutup mata dari belahan jiwa yang sebenarnya.
Saya yakin, mungkin ia tidak salah dengan rasanya, ia masih mencintai pria yang sudah menikah, tapi bukankah ia sama saja membuang waktu untuk seseorang yang benar-benar tidak memikirkannya? Memang tak selalu cinta berbalas cinta, tapi cinta yang benar, saya yakin pasti akan berbalas cinta yang sama, atau bisa jadi lebih.
Saya pernah mendapat nasehat dari seorang teman, bahwa ketika cinta membuahkan rasa yang sakit, maka yakinlah bahwa cinta kita sedang berpijak tidak tepat, sebab sejatinya cinta tidak akan menyakitkan. Ya, dan teman saya benar sekali akan itu, dia seperti membukakan mata saya bahwa cinta yang tepat akan berbalas rasa yang sama pula. Hanya masih menjadi rahasia Allah kepada siapa cinta ini kita peruntukkan?
            Selama ini rasa yang kita pikir cinta pada orang-orang yang tidak tepat mungkin bentuk ujian dan kasih sayang Allah selama kita berproses dalam mencari cinta yang sebenarnya, cinta yang hulu dan muaraNya pada Allah SWT, cinta yang bersamanya hari-hari kita diwarnai dengan usaha untuk taat dan mendekatkan kepadaNya, bukan cinta yang akhirnya melahirkan kedurhakaan dan kecemburuan Allah SWT.
            So, kalau saja saya bisa menanggapi manuskrip itu, saya mau bilang, “Mbak, ayo move on, sulit memang, tapi bukan berarti tidak bisa. Hidup Mbak terlalu berharga hanya dihabiskan untuk menambah luka dengan percikan cuka, karena Mbak masih mengharap-harap orang yang sudah berlalu pergi. Bisa jadi yang datang itu jauh lebih baik dari dia yang dinanti. Cinta hanya akan datang untuk jiwa yang bisa menghargai dirinya sendiri, maka sembuhkan luka Mbak, dan tatap ke depan, langit masih biru, air masih terasa segar ditenggorokkan, angin masih menyejukkan, maka rahmat Allah masih bertebaran, begitu juga dengan kehidupan Mbak yang masih akan tetap berjalan, ada sesuatu yang indah diperuntukkan bagi Mbak, semua sudah tertulis di lauhul mahfuz. Terus berjalan ya Mbak, meski tertatih perih,” sejujurnya ini yang ingin saya sampaikan kepadanya, tapi sayang sepertinya memang tak bisa tersampaikan.

            Maka, cinta tak akan pernah salah, cinta yang benar akan berbalas cinta. Cinta hulu dan muaranya ada pada Allah semata, dia mengajarkan cinta kepada kita bukan berarti kita menjadi pemuja cinta, tapi untuk menyadari bahwa Dia-lah yang menciptakan rasa, maka tempatkan rasa sebagaimana mestinya. Allahualam bishowab.
Sragen, 20.57 pm, 6 Juni 2015 (hari spesialnya yang kucinta) ^^

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...