Selasa, 29 September 2015

Selamat Hari Lahir Ya Pah

Pah..pah..apa kabar? Papah sehat? jaga makanan jaga kondisi..hati-hati kalau bawa motor, jangan sampai jatuh lagi...,” itu yang berulang-ulang aku tulis dalam sebuah pesan pendek dan dalam ucapan lisan di antara jarak yang harus ditempuh dalam hitungan belasan jam.

Pah, hari ini genap usia Papah enam puluh satu tahun, dan seperti biasa aku hanya bisa bilang, semoga usianya berkah Pah, tapi kali ini berbeda, tanpa ciuman, tanpa pelukan untuk Papah, karena hanya bisa bertukar pesan dari kejauhan.
Rasanya aneh ya Pah, dulu waktu masih deket Papah, aku itu rival abadinya Papah, sepertinya kita seperti minyak dan bensin, sulit sekali aku mengerti apa yang Papah mau dan Papah tahu apa yang aku inginkan. Rasanya Papah jadi motivator aku untuk maju, bukan karena Papah menyemangati ala Mamah yang menyejukkan, tapi ala Papah yang membanting aku dengan kata-kata tajam, tapi herannya aku bisa kok menunjukkan ke Papah bahwa aku tetap jadi putri terbaik Papah, meski mungkin belum sampai standar yang Papah mau.

Pah..pah, dulu waktu dekat sebisa mungkin aku menghindari komunikasi intens sama Papah, bukannya apa-apa, karena makin besar aku makin berani sama Papah, aku makin keras dalam berargumen, dan Papah juga seperti sengaja memancing aku untuk berani beragumen, sementara aku tahu yang aku lakukan itu salah besar.
Tapi sekarang, saat kita berjauhan, aku jadi tahu, bahwa dari keringat Papah lah aku bisa seperti ini, aku bisa “sombong” seolah kemampuan yang aku miliki dan prestasi yang pernah aku capai adalah murni kerja kerasku, dan Papah sama sekali tidak ikut andil, sesungguhnya Pah, aku lupa diri saat itu, karena bagaimanapun darah Papah ada dalam darahku, keringat Papah ada dalam napasku, dan perjuangan Papah, ada dalam prestasi yang pernah aku capai.

Pah, memang terkadang jarak yang berjauhan menjadi rindu semakin membiru, terkadang jarak yang berjauhan jadi tahu bagaimana itu rasanya kasih sayang, jadi tahu bagaimana itu perjuangan Papah dan pengorbanan yang Papah kasih untuk aku. Sekarang jelas terekam saat aku masih kecil, Papah penuh kasih ngendong aku di pundak, cium aku di kepala, dan tak sangka semakin besar aku semakin menjadi rival buat Papah.
Pah, rasanya aku ingin berteriak dengan lantang untuk semua anak-anak, baik yang sudah menikah ataupun yang belum menikah, bahwa kasih sayang seorang ayah tentu berbeda bentuk dan penyampaian, tapi bagaimanapun jangan pernah menyia-nyakan kebersamaan dengan mereka, orang tua, sebab ketika rindu memeluk, hanya air mata dan doa yang bisa tersampaikan lewat lisan yang tercekat, seperti keadaanku sekarang Pah.

Saat ini jauh aku rindu,, dan berharap ketika dekat lagi nanti, aku masih punya kesempatan membahagiakan Papah entah dengan cara apa aku tak terlalu paham. Pah, di usia senja Papah, aku bahagia sekali saat aku lihat Papah baca Riyadhus Shalihin dan Sirah Nabawiyah, dan itu tidak semua orang bisa memiliki kesempatan sedemikian baik.

Pah, mestinya juga di usia senja Papah, Papah bisa bahagia dengan memenuhi rukun Islam ke lima, dan itu yang belum bisa aku lakukan, meski itu masih tetap jadi cita-cita, atau entah hanya angan belaka. Pah, aku menangis lagi karena Papah seperti dulu, tapi beda keadaan. Kalau dulu aku menangis karena kemarahan Papah yang kadang tak bisa aku terima dengan darah mudaku, tapi sekarang aku menangis karena aku bersyukur punya orang tua seperti Papah.

Selamat hari lahir Pah, semoga usia Papah semakin berkah, Papah, Mamah, jaga kesehatan ya.

Sabtu, 12 September 2015

Lelah Bermimpi, Sesal Tak Pernah Lelah Mendekati

Mimpi... ternyata tidak semua orang berani bermimpi lho..kenapa?

Nah lho, kali ini tulisan perdana saya di awal kehamilan yang maboknya sudah berlalu di trimester pertama..hehe,maaf jadi curcol. Entah mengapa terlintas sebuah kata.."mimpi" yup mimpi, duluu sekali saya sempat ingat perbincangan dengan kawan lama di sebuah gang sempit menuju sekolah tercinta kala SMA. Kira-kira gini deh obrolannya kalau saya enggak salah ingat, yeah kan emang kata suami saya saya ahli sejarah jadi suka nginget-nginget yang udah lampau, ups..jadi gini obrolan saya sama dia:

Doi : "Put, elo mau nerusin ke kampus mana?"
Saya : "Oh ya gue kalau enggak UI ya UNJ, sebenernya sih itu udah mentok, soale ga boleh kuliah di luar kota sih."
Doi : "Wah negeri semua tuh, emang enggak ada cadangan kampus swastanya apa?"
Saya : "Enggak ada, gue tetep kudu masuk negeri, kalau enggak gue enggak bisa kuliah, enggak ada duit, swasta mahal. Emangnya elo mau masuk kampus mana?"
Doi : :Yah, gue sih enggak ngimpi masuk negeri, takut jatuh entar gue shock lagi, cadangan swasta juga masih cari tempat nih, yang penting tetep ada cadangan."
Saya : "Ooh..gitu."

Dan kami tak melanjutkan perbincangan karena dah sampai sekolahan. Tapi efek kalimatnya masih membekas di ingatan saya. Pertama, gilee bener, kalau cadangan kampus swasta sih enggak usah dipikirin, karena kemungkinannya persaingan di kampus swasta itu relatif tidak sulit, daripada menghabiskan energi untuk itu lebih baik untuk berjuang mati-matian di kampus negeri. Lalu yang kedua ini yang masih berefek pada saya sampai sekarang, ternyata memang tidak banyak orang yang berani bermimpi, bahkan sekedar bermimpi, entah takut tidak bisa menggapainya atau entah tidak merasa mampu memiliki energi untuk mewujudkannya?

Kata mereka, mimpi adalah bagian dari semangat kehidupan, dengan mimpi kita menjadi termotivasi untuk bangkit dan menjadi lebih baik lagi, tidak mengalir seperti air di tempat yang datar. Hidup juga tidak boleh datar-datar saja, meski ada sederet mimpi yang mesti diperjuangkan.

Hanya saja permasalahan lagi, dari sekian orang yang bermimpi ternyata sedikit sekali yang mau mengorbankan energinya untuk mewujudkan mimpinya. Kemalasan dari dalam diri adalah musuh terbesar untuk meraih mimpi. Entahlah, ketika malas memeluk tubuh, kasur yang keras dan dipenuhi kutu busuk saja menjadi tempat yang nyaman untuk ditiduri, tanpa berusaha bangkit dan mengusahakan kasur yang lebih baik dan layak untuk ditiduri, semua itu karena rasa malas.

Rasa malas, apapun alasannya menjadi bumerang terbesar bagi para peraih mimpi. Padahal kisah sejati membuktikan bahwa tidak sama mereka yang bekerja keras meraih mimpi dengan mereka yang bertopang dagu dan hanya tiduran di atas kasur kerasnya. Padahal begitu banyak bukti menunjukkan bahwa si pemalas hanya akan tenggelam dalam impian-impian kosong, dan si pejuang akan menikmati jerih payah setelah ada peluh dan rasa sakit yang dirasakan.

Mudah vs sulit, ya begitu mudah mengatakan ini, menyusun menjadi bait-bait paragraph yang sejatinya diperuntukkan diri sendiri. "Ah ngomong sih gampang!" Kurang lebih begitu yang akan keluar dari lidah si pemalas tatkala ada saudaranya menasehati untuk menyisingkan lengan baju, tapi tidak bagi si pejuang. Usaha yang ia lakukan memang sulit, dan ia merasa tidak mudah untuk memperjuangkan mimpinya yang tampak seperti taman yang berpagar dengan indah, namun tatkala di dekati taman indah itu berpagar jeruji duri yang tidak mudah untuk dipijak, tapi selalu ada usaha untuk menjadikan yang sulit menjadi lebih mudah.

So, jelas ini pengingat bagi diri saya sendiri, juga sekedar berbagi pada sahabat. Rawatlah mimpi dan jangan pernah menyerah untuk keadaan yang tidak mudah dilalui, sebab sesal tak pernah jera mendekati siapa saja.


Allahualambishowab

Met weekend sobat ^^

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...