Rabu, 05 Februari 2020

Ketika Sulit Mengelola Ide



Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun mengalami kebuntuan ide. Hehhehe. Di era sosial media sekarang ini marak dengan ide-ide yang tertuang dalam bentuk narasi jurnal, atau pun cerita fiksi. Semua sangat mudah untuk dapat dinikmati secara cepat. Namun, belakangan banyak juga tulisan yang miskin ide. Maka tak jarang praktek plagiasi jugabertebaran di mana-mana.

Menuangkan ide dalam bentuk tulisan dengan menarik adalah salah satu yang paling diinginkan bagi para pegiat sosial media. Karena memang selain dapat menghilangkan beban pikiran dalam kepala, menulis adalah salah satu sarana hiburan paling mudah dilakukan. Meski pada akhirnya seringkali mengabaikan ketebelece dalam tulis menulis. Salah satunya adalah kemampuan mengelola ide.

Itu juga saya alami sekitar awal tahun 2007 silam. Saat pertama saya bergabung di jejaring pertemanan semacam Friendster, dan akhirnya tahun 2009 bergabung dengan produk Mas Mark Zukerburg. Dengan alasan pertama tentu saja untuk eksistensi mencari jodoh, eeh. Maksud saya untuk mengembangkan kemampuan menulis. Benar saja dugaan saya. Sangat mudah menuangkan hobi cuap-cuap saya dalam tulisan di situs jejaring pertemanan yang menyediakan fitur bagi kita untuk lebih leluasa berekspresi melalui tulisan. Tentu saja dengan kompensasi agar dilihat cepat oleh banyak orang.

Meski di tahun yang sama saya sudah mulai memiliki blog. Tetapi respon orang yang melihat tulisan saya lebih cepat di sosial media ketimbang pada blog anak bau kencur. Selebihnya saya terus aktif untuk melanjutkan passion ini. Pernah juga bergabung dengan situs Kompasiana. Atas dukungan dan prakarsa dari senior saya yang baik hati, meski belum pernah bertemu secara langsung. Lagi-lagi karena beliau melihat dari tulisan-tulisan yang saya pamerkan di facebook. Mas Gaz, saya memanggilnya, akhirnya menyarankan untuk bergabung dengan Kompasiana. Di dalamnya saya bisa lebih banyak menggali ilmu dan mencari jodoh, eeh😅😅. Mas Gaz yang juga seorang editor sebuah penerbitan mayor itu, membuat saya belajar banyak mengenai teknik menulis. Menulis sesuai kaidah, menulis yang baik, menulis yang menyenangkan, bahkan menulis yang akhirnya bisa mendatangkan uang.

Baru di tahun 2010 saya mengikuti kelas menulis, Asma Nadia Writing Workshop. Kelas menulis satu hari penuh dengan investasi yang terbilang cukup murah. Kenapa saya bilang murah? Sebab kelas yang saya ikuti dari jam 09.00 sampai jam 17.00 dengan kapasitas Asma Nadia sebagai salah seorang penulis andal di tanah air itu hanya membayar Rp500.000,- saja. Tentunya saat itu belum ada kelas-kelas menulis dari grup-grup media sosial.

Dari pelatihan itu saya mendapatkan ilmu bagaimana ide yang bertebaran di kepala itu dikelola. Sekali lagi saya ulangi, dikelola. Kesimpulan saya juga samapai kepada, bahwa tidak ada ide yang seratus persen orisinil. Semua dipengaruhi oleh ide-ide para pendahulu. ATM (Ambil, Tiru, Modifikasi), ATM berbeda dengan plagiasi. ATM itu mengelola ide yang datang ke kepala kita. Tentu saja didasari oleh asupan bacaan yang kita telan sebelumnya.

Setiap orang diberikan kemampuan dasar yang sama oleh Allah SWT. Diberikan otak untuk memaksimalkan kemampuan berpikirnya. Diberikan perasaan untuk memaksimalkan kemampuan mencipta aneka rupa dan karya. Namun yang akhirnya membedakan adalah pengoptimalan potensi yang Allah beri. Ide yang menarik hasil dari pengelolaan yang apik. Memanfaatkan area abu-abu otak sebagai sarana pengatur kecerdasan. Di sana terdapat tumpukan buku-buku hasil dari bacaan kita. Lalu mengapa kita menjadi miskin ide?

Pertama karena kita tidak memahami bagaimana cara mengelolanya.
Kedua, kita terlalu dikhawatirkan dengan pemikiran sendiri, bahwa ketika menuangkan ide itu butuh teknik tertentu yang rumit. Sehingga akan sangat memalukan ketika ide terpublikasi tetapi sarat dengan cacat logika, dan teknik yang tidak tepat.
Ketiga, kita terlalu malas untuk membaca. Dalam hal ini, saya terutama. Kalau boleh saya analogikan. Ketika orang kelaparan, berarti dia memang belum makan, atau kurang makan. ada juga orang yang sudah makan tapi masih merasa lapar. Bisa jadi asupan nutrisi serta kalori tidak terpenuhi. Sama dengan ketika kita buntu dengan ide. Bisa jadi karena kita kurang bacaan, atau bahkan tidak membaca buku sama sekali. Bisa jadi juga kita membaca buku yang tidak “bergizi” sehingga kebutuhan yang kita inginkan tidak terpenuhi.
Keempat, godaan gadget lebih besar dari apapun. Heheh. Alih-alih membaca buku online, membaca novel online, apapun secara online, akhirnya kita sering kurang disiplin untuk kembali pada tujuan awal. Tidak salah memang membaca apapun secara online. Tapi hemat saya, membaca buku versi cetak tetap lebih aman dan lebih mudah menghalau gangguan.
Akhirnya hanya ada dua kesimpulan besar untuk tetap bisa eksis di dunia literasi ini. Perbanyak membaca, perbanyak membaca, perbanyak membaca, lalu menulislah. Karena menulis adalah salah satu cara mengikat ide.

Catatan: Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi semata. Yang baik boleh diambil, yang jelak mohon tidak ditiru, terutama proses cari mencari jodoh, eeeh.

Puput Sekar –Yogyakarta—05.02.2020—11.18 pm

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...