Selasa, 17 Januari 2017

Manifestasi Syukur


Ingatan saya melayang saat masih sekolah. Pada awal tahun ajaran baru, hari pertama masuk, beberapa guru bercerita mengenai perdebatan panjang sebelum rapor dibagikan, membahas siapa saja yang pantas naik kelas dan yang tidak. Dan di hari pertama ajaran baru, si murid yang mati-matian diperdebatkan apakah dia dapat naik kelas atau tidak pun terselamatkan. Duduk manis di tingkat yang lebih tinggi. Di hari pertama sekolah, sang guru menanyakan bagaimana perasaan si murid yang nyaris tidak naik tersebut, si murid malu-malu menjawab, "Senang Bu/Pak", katanya. Tidak puas dengan jawaban si murid, guru masih mengejar, "Senang bagaimana? Bersyukur apa tidak ?" cecar guru. Si murid masih dengan gaya cengar cengir tak jelas, mengatakan bahwa dirinya tentu saja bersyukur. "Terus apa bukti dari syukur?" cecar guru lagi. Kali ini si murid diam, tak paham jawabannya apa.

Ilustrasi itu yang beberapa kali kerap saya dapati saat sekolah, pun saat saya mengajar di salah satu sekolah, maka hal tersebut yang jadi bahan pembicaraan rekan-rekan guru di kantor, mengatakan semestinya si calon tidak naik kelas itu bersyukur. Dan yang menjadi pertanyaannya di kepala saya dan begitu menggelitik adalah, apakah si murid tersebut paham bagaimana cara bersyukur dan mampu memanfestasikan dalam wujud nyata? Ah, semoga saja dia paham, saya hapus seketika pikiran saya yang seolah mengerdilkan si murid, sebab ia punya kesempatan yang sama dengan yang lain, sekali pun ia nyaris tidak naik kelas, dan kita semua dapat menjawab, bahwa cara bersyukur murid itu adalah dengan rajin belajar, lebih patuh pada guru, lebih santun, lebih rajin, dan lebih dapat mengikuti pembelajaran dengan baik

Kejadian tadi hanyalah sebuah sampel ilustrasi di sebuah sekolah, lantas bagaimana dengan kita yang mengalami berbagai kejadian di dunia ini? mahluk yang di muka bumi dengan segala rupa diberikan nikmat oleh Sang Pencipta?

Allah memberi nikmat kita beragam rupa. Bahkan sakit pun sebuah kenikmatan yang patut disyukuri, sebab segala kejadian memberi hikmah. Ini pertanyaan dan pernyataan berat bagi saya. Saya sudah 32 tahun sebagai penduduk dimuka bumi, diberi kesempatan bernafas, melihat, mendengar, berucap, merasa, dan banyak lagi, yang bahkan banyaknya tak dapat ditulis dengan tinta seluruh samudera, namun sedkit sekali saya bersyukur, entahlah, sisanya biasanya saya gunakan untuk berkeluh kesah, menyalahkan keadaan, nasib, orang lain, dan semua yang akhirnya berujung pada kekufuran, naudzubillah...

":"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambahkan (nikmat) kepadamu, tetapi jika  kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (Q.S Ibrahim ayat 7).

Saya bukan ahli agama, tapi jika merujuk pada kejadian murid yang tidak naik kelas tadi (pada kisah di atas) maka saya yang awam agama sedikit menaut-nautkan, bahwa perwujudan syukur bukan berarti mengucap hamdallah lantas menerima semua yang ada, namun bisa jadi mengucap hamdallah disertai dengan bagaimana mewujudkan pemujaan kepada Sang Pencipta dalam bentuk karya nyata, maka mutlak jawabannya adalah taat kepada PerintahNya dan menjauhi laranganNya, di samping memanfaatkan pemberian dengan seoptimal mungkin yang kita bisa. Menjadikan pemberiannya sebagai modal dasar untuk lebih memiliki karya nyata yang kelak akan kita perlihatkan di kampung akhirat.


Menurut hemat saja, dan jika boleh saya menganalogikan, semua yang kita nikmati di muka bumi ini adalah modal-modal yang Allah berikan kepada kita untuk dapat lebih menunduk kepadaNya. Untuk mendapatkan karunia yang lain agar kehidupan semakin berkah, mendapat rahmat, dan mudah. Ketika harta dan tahta sudah tak lagi dapat menjadi penolong di kemudian hari, maka hanya rahmat Allah yang sungguh kita harapkan. Rahmat dan keberkahan yang kita pinta, tentunya atas dasar syukur tadi. Bersyukur, kunci keberkahan, bersyukur kunci rahmat Allah datang, bersyukur kunci pertolongan Allah tiba. Bersyukur menjadikan kita lebih bersemangat menjalani hari, meraup keberkahan, mengoptimalkan potensi, melakukan karya nyata. Bersyukur tidak sama dengan menerima yang ada segitu-gitu saja. Bersyukur sama dengan bergerak, bergerak karena Allah sudah memberikan tubuh, akal, dan hati yang harus dioptimalkan. Bersyukur menjadikan manusia lebih mulia di hadapan RabbNya, bersyukur salah satu jalan masuknya ke surga. Dan semoga kita menjadi hamba-hamba yang senantiasa bersyukur dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang telah Allah beri.

Allahualambishowab. Putse-Sragen, 21.37 WIB -- 17/01/17
Catatan Pengingat diri.

Kamis, 12 Januari 2017

Orang Miskin Dilarang Banyak Bicara !



Orang miskin dilarang banyak bicara! 
Ya, yang miskin-miskin dilarang banyak bicara, sah-sah saja. Orang miskin sebaiknya lebih banyak diam, sebab khawatir perkataannya hanya akan membuatnya semakin terlihat sangat miskin. Percuma orang miskin banyak bicara, toh kemungkinan terbesar tidak akan didengar oleh mereka, si kaya.

Orang yang miskin harta, untuk apa banyak bicara? Melebih-lebihkan perkataan, melebih-lebihkan apa yang hanya sedikit ia punya, atau bahkan mengada-ada yang tidak ada. Orang kaya tidak akan berperilaku seperti itu, sebab semua sudah tampak. Orang miskin bicara justru akan menunjukkan yang tak ada, dan menjatuhkan harga dirinya. Lalu apakah harta dapat menjadi sebuah kebanggan jika pada hulu dan muaranya adalah yang Maha Kaya?

Orang yang miskin ilmu, dilarang banyak bicara, sebab perkataannya bisa mengarah kepada dusta dan mengada-ada, disertai bumbu-bumbu yang salah. Si miskin ilmu semakin banyak bicara semakin terasa lebih seperti genderang kosong yang ditabuh, terdengar membahana, namun sama sekali tidak berisi. Sementara si kaya ilmu bicara hanya pada saat benar-benar dibutuhkan. Perilakunya semakin tunduk bak padi yang akan menetas. Si kaya ilmu tidak akan banyak bicara untuk suatu yang sia-sia, namun ia langsung memberi manfaat kepada sesama.

Orang yang miskin hati, sangat dilarang banyak bicara, sebab omongannya hanya akan mengarah pada kesombongan dan keangkuhan. Si miskin hati tak akan pernah peduli pada sesama, terlebih peduli apakah perkataannya akan menyakiti atau tidak. Ia tidak akan memilah dan menyaring perkataan dan perbuatan. Seolah ia mengatakan bahwa itu fakta, namun tidak semua fakta patut dibeberkan secara langsung jika itu hanya akan membuat goresan luka. Sementara si kaya hati akan selalu memandang jernih sebuah permasalahan. Ia berlapang dada tehadap apa yang ia rasakan, ia akan sedikit bicara, atau bahkan lebih banyak diam, karena hatinya hidup. Hidup dengan kalimat illahi yang akan senantiasa melindungi lisannya untuk bicara yang tak manfaat, atau bahkan sia-sia dan menyakitkan.

Orang yang miskin motivasi juga tak usah banyak bicara. Karena bicaranya hanya akan mengarah pada khayalan dan angan-angan. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu jarang dibarengi dengan sikap dan tindakan nyata. Si miskin motivasi hanya akan terus berangan-angan, mengkhayal, dan pada saatnya ia tak mendapatkan sesuatu maka keadaan yang akan ia salahkan. Sementara orang yang kaya motivasi akan terus bertindak tanpa banyak bicara, langkahnya nyata. Sedikit bicara untuk memotivasi diri, selebihnya adalah upaya atau ikhtiar yang dibarengi dengan doa.

Ya, sejatinya kita miskin. Apa yang kita miliki ini hanya sebagian kecil saja dari apa yang Dia miliki. Allah lah Pemilik semua kekayaan di langit dan di bumi. Allah lah Pemilik semua ilmu yang ada di seluruh jagad raya dan nirwana. Allah lah Penggenggam hati dan pembolak-balik siapa yang ia kehendaki. Pemberi hidayah siapa yang Dia inginkan. Maka tak perlu berbangga hati bahwa memiliki kebaikan hati, sejatinya Allah yang menggerakkan semua hati seluruh mahluknya. Allah lah yang Maha mengetahui setiap keinginan dan cita-cita hambaNya. Dan dengan ridhoNya Allah mudahkan jalan menuju apa-apa yang telah diusahakan hamba-hambaNya untuk meraih kesuksesan. Maka tak perlu banyak bicara bahwa kita apa yang kita usahakan adalah murni jernih payah kita, tak perlu bangga dengan otak cemerlang, tak perlu merasa hebat dengan menjadi motivator nomor wahid, tak perlu merasa sudah menjadi orang baik. Yang diperlukan adalah semakin hari, semakin meningkatkan kualitas diri, dan tetap merasa rendah di hadapanNya. Sebab untuk apa banyak bicara, sementara kita dilahirkan saja tak bisa apa-apa, kecuali hanya menangis saja. Begitu juga kelak saat kita kembali pun sama sekali dalam keadaan tak dapat apa-apa.

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam…. (HR. Bukhari dan muslim)”

Semoga Allah menguatkan kita untuk senantiasa memperbaiki diri dan berkata yang baik atau menahan perkataan yang tak manfaat. Dan tak memperpanjang kata, saya yang miskin ini tidak berani banyak bicara. Allahualambishowab.

Catatan Pengingat Diri
Putse—Sragen—12.01.2017
21.38 WIB

Rabu, 11 Januari 2017

Pilih Wanita Karier atau Ibu Rumah Tangga?



Wanita karier versus ibu rumah tangga, adalah salah satu obrolan panjang episode keluarga selain poligami, hehe. Hal ini dimulai dari sebuah diskusi atau anggaplah rumpian wanita seputar perlunya bekerja. Tapi saya tidak akan menceritakan rumpian tersebut, hanya secara garis besar saya tergelitik untuk menjadikan sebuah tulisan.

Sungguh tak ada yang salah bagi wanita yang bekerja a.k.a wanita karier, Jadi bukanlah sebuah aib jika wanita bekerja dan berkarier selama mendapat izin dan restu dari suami. Utamanya memang suami yang mencari nafkah untuk keluarga, tetapi jika khalayak membutuhkan sumbangsih tenaga dan pikiran dari kaum wanita, maka akan menjadi berkah tersendiri bagi kehidupannya. Bayangkan saja apa yang terjadi jika semua dokter pria, tak ada bidan, tak ada guru wanita, dan beberapa profesi yang membutuhkan wanita, padahal penduduk bumi saat ini didominasi kaum wanita.

Secara kodrati wanita memang di rumah, mengurus anak dan mendidiknya agar menjadi bibit-bibit unggul, tapi lagi-lagi sungguh tidak salah jika salah satu niat wanita bekerja, selain mengamalkan ilmu yang ia miliki, namun juga membantu suami untuk mencari rupiah demi kesejahteraan keluarga dengan ikhlas dan atas ridho suami. Bahu membahu dalam proses perbaikan perekonomian keluarga. Selama kepentingan anak dan keluarga tidak menjadi korban. Korban atas materialisnya wanita pekerja yang akhirnya melupakan niat dan tujuan awalnya.

“Sungguh di antara dosa yang tidak bisa ditebus dengan pahala shalat, sedekah, atau haji, maka bisa ditebus dengan kesusahpayahan mencari nafkah (HR. Ath Tabhrani)”
Maka bekerja adalah berpahala, bekerja adalah penghapus dosa, bekerja menjadikan diri semakin berarti, bekerja adalah mulia, maka bekerja adalah manisfestasi dari rasa syukur kepada Rabbnya atas potensi yang telah diberikan. Dan sungguh tak ada yang salah jika wanita bekerja selama ia bertanggung jawab atas kodratnya sebagai ibu dan istri.

Demikian pula dengan Ibu rumah tangga. Dan bukahlah sebuah aib jika seorang wanita hanya di rumah saja sebagai Ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang tak ada jeda dalam bekerja. Yang bahkan saat malam hari di kala manusia istirahat dia masih menggunakannya untuk melakukan segambreng aktivitas rumah tangga yang tiada henti. Beberapa wanita mengeluhkan betapa bosan dan penatnya saat ia melakukan aktivitas rumah yang itu-itu saja tanpa ada selingan-selingan pereda penat. Ada beberapa wanita yang pernah mengeluhkan kepada saya, bahwa sepertinya ia tidak berdaya guna, hanya di rumah, menerima uang bulanan dari suami tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun, sudah menjadi janji Allah, jika Allah akan mencukupkan kebutuhan setiap mahluknya. Jika memang Allah menghendaki keadaan kita yang demikian, maka itulah yang terjadi. Ibu rumah tangga pun tetap mulia, ia mengorbankan waktu istirahat untuk pekerjaan yang tiada usai. 

Ibu rumah tangga memiliki waktu lebih untuk mengurus, mendidik, serta menjadikan sang buah hati menjadi insan utama. Ibu rumah tangga, tetap dapat mengaktualisasikan diri dengan potensi yang ia miliki meski hanya berada di dalam rumah. Ibu rumah tangga pun bisa menjemput rizki Allah walau di rumah. Ibu rumah tangga punya tambahan waktu dhuha untuk bermunajat kepada Allah agar suami dilimpahkan rizki yang halal dan berkah. Ibu rumah tangga tetap bisa berdaya guna, meski urusan sehari-harinya adalah dapur, sumur, dan kasur. Ibu rumah tangga juga dapat menciptakan surga bagi suami dan anak-anaknya. Ibu rumah tangga adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ibu rumah tangga kedudukannya tetap mulia di mata Allah SWT.

Kembali lagi, seorang wanita apapun statusnya maka yang perlu digarisbawahi adalah tetap menjadikan Allah SWT sebagai tujuan utama. Kemuliaan bukan diiukur dari apakah dia wanita karier atau bukan, kemuliaan diukur dari seberapa besar manfaat yang telah diberikan selama Allah memberi jatah kehidupan baginya.
Wanita adalah perhiasan, Mom’s sebaik-baik wanita adalah yang menjadi istri sholehah bagi suaminya. Menjaga harta, dan kehormatan suami, menjadikan anak-anaknya sebagai generasi Robbani, bukan generasi yang hilang. Mom’s laa tahzan, apapun yang dirasakan inilah episode kehidupan, Allah sebaik-baik tempat mengembalikan semua urusan. Wanita karier menjadi maanfaat bagi umat, Ibu rumah tangga pun tetap berdaya guna bagi umat, anak, bagian dari umat, yang akan membuat merah-hitamnya peradaban.
Wallahualambishowab

Catatan pengingat diri – putse, 11-01-2017—Sragen---21.05

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...