Jumat, 28 Juni 2013

Jangan takut miskin,tapi takutlah ketika kehilangan mimpi dan idealisme

"Celaka, jika seseorang  mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi keahliannya," kutipan dari film Jepang.

Coba bandingkan dengan kalimat ini, "“Jika sebuah urusan telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” (HR. Bukhari)

Hm, jadi begini ceritanya, kemarin ke Japan Foundation sama Mbak Trini (sorry Mbak, bwa2 namamu hehe ^^) nah niatnya hanya buat kembaliin buku di perpustakaannya aja, eeh ternyata ada film Jepang, judulnya The Story of Wife Gegege. Settingnya jadul, saat Jepang, masih banyak gembel, orang2 yang mati kelaparan, yah intinya saat Jepang masih susah gitu deh. Nah kisahnya juga tentang seorang istri komikus yang idealis. Kalau dikonversi ke Islam tuh sosok istri solehah kali ya..hehe, hidup susah, tapi enggak nuntut sama suaminya, malah mensuport, berjuang bareng, minta maaf sama suami ketika hanya bisa menyediakan lobak saja (padahal itu juga karena penghasilan suaminya sangaaaat kecil, hehe), yaah ada ngambek-ngambeknya juga sih, maklum aja, namanya  juga cewek..hehe, dan suaminya itu karaker yang sabar, pekerja keras, dan idealis (hhm, karakter2 idaman umat juga nih...hehhe ^^)

Jadi ceritanya suaminya itu kan komikus horor, dan enggak laku, soalnya anak-anak sukanya sama karakter yang imut dan lucu, bukan horor, tapi suaminya tetep aja nulis cerita horor, karena dia cuma bisa itu, dia merasa ahli di cerita horor, lalu dia mengutip kalimat diatas, "Celaka, jika seseorang mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi keahliannya." Jujur aja itu mirip banget sama hadistnya Rasulullah SAW. Jadi merinding, betapa Islam sudah menjawabnya terlebih dahulu. Dan sosok istri penulis yang baik, sholehah, dambaan umat deh, bener-bener inspiring banget, padahal mereka hidup susah. Mereka tidak takut miskin, mereka sudah terbiasa dengan kemiskinan, yang mereka takutkan adalah ketika mereka tak lagi memiliki mimpi dan idealisme. Waaaah nyeeees bangeet deh liat film itu, memotivasi.

Terus ada lagi adegan mereka didatengin petugas pajak. Karena penghasilan suami teramat kecil, sampai petugas pajak enggak percaya kalau mereka bisa bertahan hidup, terus si suami bilang, "Kami menahan marah, karena jika kami marah, maka kami cepat lapar, jadi kami tidak marah agar tidak lapar." Bukankah anjuran menahan marah juga terdapat  dalam Islam?

Sahabat, kadang saya malu, Jepang negara yang jelas aqidah bukan Islam, tetapi menganut nilai-nilai keislaman yang baik (tentunya secara tidak mereka sadari) Jepang  menjadi negara hebat juga bukan melalui simsalabim, tapi melalui proses yang tidak sebentar, hingga mereka menjadi negara kaya dan hebat seperti sekarang ini.

Indonesia? Bukan tidak mungkin bisa seperti itu. Yah, terlepas dari permasalahan di tanah air (sebab saya rasa Jepang pun memiliki permasalahan yang kompleks) Tapi selagi kita mau untuk terus berjuang, dan mempertahankan apa yang disebut idealisme itu tadi, Insya Allah kita pun akan bisa sejajar dengan Jepang. Walau mungkin dalam hati  kecil kita bertanya, "Apa mungkin?" Iyalah sepertinya berat, tapi segala kemungkinan tetap terbuka lebar.

So, kesimpulan dari The Story of Wife Gegege" itu inspiring banget, intinya saya puas liat filmnya, saking banyaknya nilai-nilai kebaikan yang bisa ditiru, sampai saya kehabisan kata untuk menuliskannya (emang juga udah ngantuk, hhhehe) ^^

Ok sahabat, Sekian  dulu postingan saya."Jangan takut miskin, tapi takutlah ketika tidak memiliki mimpi dan idealisme. Jangan takut dilecehkan manusia, tapi takutlah, ketika Allah meninggalkan dan melecehkan kiita. Dan jangan berhenti berharap dan berdoa padaNya."



Met malam.....^^

Allahualambishowab

Rabu, 26 Juni 2013

Warna

Assalamualaikum sahabat...

Malam ini saya kembali akan menuliskan tentang warna. Lho kok??



Iya warna, kalau yang pernah saya tahu sih warna itu ada spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya. Hm, tapi gini ada yang menarik dari warna, setidaknya ini menurut pengamatan saya pribadi, jadi kalau salah mohon dimaafkan, bisa aja kan saya yang terlalu sok tahu padahal ilmu masih minus, hanya sekedar ingin berbagi rasa saja.

Pernahkah sahabat memerhatikan gunung? apa warnanya dari kejauhan? biru..ya...dan semakin kita mendekati gunung tersebut warna gunung tersebut berubah menjadi hijau. Kok bisa berubah begitu? Nah itulah warna yang akan saya bahas ditulisan ini. 

Bolehkah saya berpendapat, bahwa warna bisa jadi adalah persepsi spektrum dalam suatu cahaya yang ditangkap oleh alat optik kita. Warna biru atau hijau tak perlu saya bahas di sini, begitu juga dengan warna matahari, ada yang mengatakan kuning keemasan, keperakkan, jingga, hingga warna merah. Begitu juga dengan laut, hijau, biru muda, biru tua, padahal saat kita mengambil air lautnya? Sungguh tak berwarna. Jadi menurut saya warna adalah persepsi dari apa yang terlihat oleh indera kita. 

Nah, mungkin saja itulah kehidupan. Kita sering melihat berbagai warna kehidupan, lalu dengan berbagai tanggapan, opini, dan persepsi. Semacam kita mempersepsikan warna tersebut. Hidup ini penuh warna, tidak hanya sekedar hitam, putih, dan abu-abu saja. Kadang merah membara, Jingga merona, hijau meneduhkan, biru yang tajam, hingga kuning menyala. Semua itu persepsi kita dalam melihat warna-warna kehidupan. Berbagai masalah dan tipikal orang kita temui, dan jangan menafikkan jika kita termasuk ke dalam bagian dari warna-warni tersebut.

Mungkin, kita tak perlu repot saat melihat semarak warna yang kita tangkap. Menyatukan persepsi tentu saja sulit, yang mudah adalah melihat warna dari berbagai persepsi dan berlapang dada ketika ada yang melihat warna dengan persepsi yang berbeda. Mungkin itu cara termudah untuk kita dapat menikmati warna yang kita lihat menurut kacamata kita.

Pelangi menjadi indah untuk dinikmati disebabkan harmonisasi warnanya, begitu juga dengan kehidupan menjadi indah dan semarak karena memang keberagamannya.
Ada yang punya pendapat berbeda? Silakan tinggalkan jejak sahabat di kolom komentar ^^

Allahualambishowab




Rabu, 19 Juni 2013

Antara Antares dan Aldebaran--Metamorf--



Di ruang kerja ini, seorang pria di usia lima puluh tiga tahun, yang dua tahun lagi bersiap memasuki masa pensiun, berdiri termangu. Memandangi photo keluarga ukuran 5 R yang terbingkai mungil di meja kerjanya. Di dalam photo tersebut ia sedang berpose merangkul seorang wanita keturunan Sunda yang begitu ayu, dan diapit anak lelaki dan perempuan yang keduanya sudah dewasa. Keluarga bahagia, kata sebagian orang. Namun, sebagai nahkoda, ia yang tahu apa itu definisi bahagia. Mungkin bahagia, saat ia hidup berkecukupan, memiliki istri cantik dan baik. Mungkin bahagia, saat ia melihat prestasi demi prestasi anak sulungnya yang begitu membanggakan. Di dalam photo ini pose si sulung yang kini sedang melanjutkan studi di salah satu universitas terprestisius di Indonesia memperlihatkan senyum yang begitu ramah dan menyenangkan. Dialah si sulung yang membanggakan. Tapi seketika senyumnya menghilang, saat matanya mengarah pada pose seorang gadis bermata tajam di dalam photo tersebut. Bahagiakah jika ia memliki putri bungsu yang selalu menentang apa yang ia mau? Pun jika menurut semua karena keterpaksaan. Lantas, bahagiakah jika ia memiliki anak wanita yang waktu kecil saja sudah senang memukul anak laki-laki di sekolah, bahkan setiap ambil rapot ia harus menanggung malu saat wali kelasnya mengatakan tabiat putrinya yang suka tidur di dalam kelas? Bahagiakah jika memiliki anak wanita dengan prestasi akademik yang hanya memiliki nilai standar, dan sering melawan apa yang ia mau? Bahagiakah jika anak wanita tersebut kini telah beranjak dewasa tapi tak juga memiliki tujuan hidup yang jelas dan suka berbuat semaunya? Pria ini menghela nafasnya berat.
            Alvin Antares Atmojo, pria yang memiliki tatapan mata yang meneduhkan. Dia sempurna di mata Papa. Dulu saat masih di sekolah, siapa tak kenal Alvin? Cerdas, tampan, pintar, agamis, dan sopan. Sebagian besar kaum hawa di sekolahnya mengagumi Alvin yang cemerlang. Sangat pantas Profesor Shofwan Wiratama memberi  nama tengah Antares untuk cucunya ini. Alvin memang seterang bintang antares.
            Alvin, pria ini memiliki sinar yang begitu sempurna, namun tak menyilaukan mata, seolah tak ada cela, bahkan di saat ia telah memiliki segalanya saja ia malah semerunduk padi yang berisi. Meski banyak gadis yang menyukainya, bahkan mengejarnya, tapi Alvin santai, ia tidak terpengaruh. Dikejar oleh wanita-wanita secantik model majalah remaja, Alvin malah menghindar. Sebenarnya bukan Alvin tak tertarik pada mereka, jujur saja ia juga merasa terganggu, sebab hatinya tak terlalu kuat. Ia pria normal, sama seperti yang lain, yang bisa saja tergoda sewaktu-waktu, tapi untuk apa? ia sadar sekali, perempuan-perempuan yang mengejarnya itu hanyalah sebuah godaan yang akan menghambat cita-citanya. Alvin berusaha menahan diri, ia lebih banyak mendekatkan diri pada Allah Sang Pemilik hati. Di saat istirahat ia selalu ke mushola, sholat dhuha, setelah itu ke perpustakaan. Sebab bagi Alvin, mimpinya jauh lebih besar dari tubuhnya. ITB adalah incarannya untuk melanjutkan studi setelah SMA. Ia sadar, untuk menggapai cita-citanya, membutuhkan banyak usaha rumit dan doa-doa yang melangit. Merayu Sang Penggenggam dunia agar mau mewujudkan mimpi-mimpinya. Ia belajar keras untuk bisa masuk astronomi ITB, kelak ingin menjadi penerus Aki.
            Akan tetapi selalu ada perubahan dalam tiap rencana, Alvin yang sudah belajar keras, harus menerima dengan apa yang dinamakan takdir. Takdir membawanya pada pilihan kedua. Ia harus puas ketika ia terdampar di departemen Fisika di salah satu universitas negeri, bukan ITB. Meski tertatih, Alvin masih terus menyulam mimpinya. Hingga perjuangan demi perjuangan ia lakukan untuk meraih beasiswa studi pasca sarjana di kampus yang ia idamkan selama ini, Institut Teknologi Bandung.
            Lain Alvin, maka lain lagi dengan Anggi. Anggia Aldebaran Atmojo. Gadis dengan tatapan setajam pedang yang menyilaukan ini menempa diri untuk menjadi sang juara sejati. Taekwondo yang jadi pilihannya, fokus dan tanpa lelah, hingga di usia yang ke delapan belas ia sudah meraih sabuk hitam Dan 2. Kejuaraan demi kejuaraan ia menangkan. Anggi atlet kebanggan ibukota. Tapi bukan kebanggan bagi Papa. Prestasi itu sungguh tak ada apa-apanya di mata Papa, malah bukan itu yang Papa mau. Sebab di satu sisi, nilai rapotnya pas-pasan, standar, tidak ada yang dibanggakan. Papa hanya ingin Anggi tumbuh normal seperti layaknya anak perempuan lainnya, dengan prestasi akademik yang memuskan, agar kelak bisa dijadikan pegangan untuk meraih masa depan yang cemerlang.
            Anggi memang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kakaknya. Jika Alvin memiliki banyak teman, Anggi sebaliknya, ia sangat selektif memilih teman, hanya beberapa saja yang bisa dekat dengannya. Dan ia sangat membatasi diri dengan yang lain. Wajahnya dingin, tidak banyak bicara untuk orang yang tak dekat dengannya. Benar, meski Anggi juga bintang, tapi bintangnya Papa yang satu ini sinarnya menyilaukan mata.
            Diam-diam teman-teman pria Anggi, baik di sekolah, di kampus, maupun di dojang[1] banyak yang menyimpan hati untuknya. Namun belum ada satu pun pria yang ia gubris. Perempuan ini terlalu bebal untuk merasakan cinta. Kadang lucu sekali ketika ia mendengar cerita cinta, membaca puisi cinta, kenapa orang begitu bodoh karena cinta? Sebegitunya kah cinta? Cinta baginya hanyalah sebatas dongeng pada novel-novel yang ia nikmati, tapi bukan berarti harus menghinggapinya. Kelak, jika ia harus jatuh cinta, ia berharap tidak sebodoh seperti kisah-kisah yang ia baca dan cerita yang ia dengar. Cinta itu mestinya indah, dan jangan ada air mata. Hingga sampai saat ini ia lurus-lurus saja dengan pria, semuanya ia anggap sebagai teman. Ia perlakukan datar saja, tanpa memberi sinyal apa-apa. Jika ada pria yang nekat menyatakan perasaan kepadanya, maka tanpa kata Anggi langsung menolaknya. Ia hanya menggeleng, menatap tajam pria tersebut, tersenyum dingin, lantas berlalu begitu saja. Dan sudah banyak pria yang menjadi korban penolakan sadis Anggi.
            Aldebaran ini memang menyilaukan. Tinggi, menyilaukan mata, panas, dan tak mudah didapatkan, itulah Anggi, dan ia sangat menikmati kesendiriannya ini. Ia bahkan sama sekali tidak khawatir tidak mendapatkan pacar seperti teman-teman perempuannya yang khawatir jika tak punya pacar, apalagi umurnya sekarang sudah delapan belas. Ia sama sekali tak butuh pacar, baginya pacar hanya akan mengganggu langkahnya menjadi juara sejati. Baginya, juara sejati jangan sampai bermain hati atau ia bisa mati.


[1] Tempat berlatih taekwondo

Menghilangkan Jejak---Metamorf----



Ini pusara Mama, Anggi masih berdiri mematung di depannya. Mulutnya terkatup, wajahnya membeku, tapi ujung matanya terasa menghangat. Rambutnya yang diekor kuda bergoyang diterpa semilir angin di kompleks pemakaman ini. Sudah setahun lebih, ia benar-benar kehilangan sosok yang sangat berharga dalam kehidupannya. Hidupnya sudah tak berarti lagi. Untuk apa ia susah-susah meraih mimpi, untuk apa? Mama sudah tiada, ia tidak termotivasi untuk melakukan apa-apa lagi. Medali-medali itu untuk siapa? Kemenangan itu untuk siapa? Jika bukan untuk Mama. Anggi jongkok di depan pusara Mama, mengusap nisan Mama.
            “Ma...,” ia membuka pembicaraan, meski begitu terbata. “Anggi sekarang makin tak berdaya, hidup ini Anggi jalani hanya sekedar karena Tuhan masih memberi kehidupan untuk Anggi, hanya sadar bahwa bunuh diri akan memberi siksa di hari pembalasan nanti, itu kata Mama dulu. Hanya karena Anggi masih ingat kata Mama bahwa kita hrus berani hidup dan jangan takut mati. Tapi Ma...,hidup Anggi sungguh tak berarti lagi..Anggi cuma boneka dalam kehidupan ini. Anggi hanyalah menjadi orang-orang yang kalah Ma. Tanpa Mama, Anggi bukan apa-apa. Biarkan takdir puas melihat Anggi yang sekarang ini. Entah Anggi akan menjadi orang yang seperti apa, Anggi juga tak tahu.”
            Mata bening dan tajam itu sudah penuh dengan air mata yang menganak sungai di pipi, terus mengalir ke dagunya yang indah. Cairan hangat itu terus mengalir, tanpa isak, hingga terasa sesak sangat di dada. Hingga tepukan lembut dari tangan seorang pria mendarat di pundaknya. Ia menoleh, pria itu ternyata sudah jongkok di sebelahnya.
            “Jangan bicara begitu Nggi, Mama akan lebih sedih kalau Anggi begini.”
            Anggi menyeka air matanya. “Maaf Mas, aku terbawa perasaan.”
            “Kenapa Anggi mengubur mimpi, mau sampai kapan Anggi begini?” tanya Alvin pelan, tapi tajam, matanya menatap Anggi dalam, seolah menginginkan kejujuran di sorot mata itu.
            Seketika Anggi terkejut dengan pertanyaan tersebut. Tahu darimana Alvin tentang impian yang sudah ia kubur dalam-dalam?
            “Maksud Mas?” tanyanya dengan kening berkerut.
            “Kenapa Anggi menghilang dari dojang?”
            “Mas tahu darimana? Kata siapa?”
            “Teman-teman di dojang begitu kehilanganmu. Sabeum Edo beberapa kali menghubungi Mas, ngobrol banyak walau hanya via telepon. Dia bilang kamu tanpa kabar menghilang dari dojang, nomor kamu ganti, enggak ada hujan enggak ada angin kamu berbuat begitu, kenapa Nggi? Belakangan kamu kirim email ke Sabeum Edo kalau kamu terpaksa melakukan ini, hanya untuk mengubur semua mimpi. Kenapa Nggi?”
            Pertanyaan Alvin membuat matanya makin panas. Jadi Sabeum Edo sampai menghubungi Alvin? Kenapa bisa? Kapan? Alvin benar, sudah enam bulan ia menghilang dari klub. Ia memutuskan tidak lagi latihan dan berhubungan dengan taekwondo atau apapun. Setelah Mama meninggal ia benar-benar kehilangan sosok yang memotivasi. Latihan pun jadi terasa hampa. Parahnya lagi saat-saat ia latihan, terbayang lagi wajah Mama saat di rumah sakit, di saat-saat terakhir bersamanya. Konsentrasinya buyar, seolah-olah ia membiarkan Mama pergi begitu saja. Ia lebih mementingkan pertandingan daripada Mama saat itu, sungguh ia tak dapat memaafkan dirinya begitu saja. Dan untuk apa lagi ia melakukan semua ini. Padahal pasca kematian Mama, ia berusaha menormalkan diri, datang ke dojang seperti biasa, tapi gagal, ia masih dalam keadaan trauma, bahkan untuk mengikuti kejuaraan saja ia tak bisa. Hingga akhirnya perlahan ia memutuskan tak datang lagi ke dojang. Ia mengganti nomor ponselnya, agar tak ada satu pun yang menghubungi. Akses internet di media sosial juga ia tutup, akun-akunnya semua ditutup, seperti menutup diri dengan dunia luar. Ia limbung, bagusnya saat itu musim ujian kelulusan sekolah, teman-teman dan Sabeumnya di dojang memahami mungkin Anggi melakukannya agar bisa konsentrasi pada ujian nasional. Padahal tidak demikian adanya. Bagusnya ia bisa lulus ujian nasional di saat sedang limbung seperti ini. Dan ia tak punya pilihan lain ketika Papa memintanya untuk kuliah, meski tak sejalan dengan inginnya. Dan baru sebulan yang lalu ia mengirimi surat elektronik pada Sabeum Edo, pemilik dojang.
            “Ini yang kamu tulis ke Sabeum Edo kan?” Alvin menunjukkan email dari ponselnya, email yang diteruskan oleh Sabeum Edo atas permintaan Alvin. Anggi terkejut bukan kepalang. Ia memandangi deretan huruf, kata, dan rangkaian demi rangkaian kalimat. Ini membuatnya miris lagi.
Cc    :
Sent : 2012-08-30  09.00
Subject: Maaf
                Sabeum Edo yang saya hormati.
                Apa kabar Sabeum? maafkan muridmu yang selama enam bulan tidak menampakkan diri ke dojang, dan ini sudah sangat pantas jika Sabeum hendak menendang saya dari klub. Sabeum, sungguh saya melakukan ini karena saya begitu mencintai taekwondo, saya tidak ingin menodai taekwondo. Sabeum tahu, saya benar-benar kehilangan konsentrasi sepeninggal Mama saya. Untuk apa lagi saya berkiprah di dalam beladiri ini jika orang yang begitu memotivasi saya sudah tiada. Harusnya saat itu saya di rumah sakit menemani Mama saya menghabiskan waktunya, harusnya saya tidak ikut pertandingan, toh masih siswa lain selain saya. Tapi apa yang terjadi, saya begitu mengikuti nafsu saya sebagai juara, saya diburu untuk memenangkan setiap pertandingan, tapi kini apalah artinya juara tanpa Mama saya. Sabeum, saya tidak bisa meneruskan taekwondo, percuma jika saya kehilangan konsentrasi, percuma saya tidak akan bisa merebut medali-medali emas itu lagi. Saya tidak mau hanya menjadi benalu di klub ini, maka lebih baik saya mundur. Ini pilihan saya Sabeum, sebelumnya saya mohon maaf dengan sangat. Semoga suatu hari kita bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik. Mohon maaf untuk semua yang telah saya lakukan, dan maafkan atas sifat saya yang pengecut, ini hanya karena saya belum siap untuk semuanya.
Salam hormat saya
Anggi
            Mata Anggi panas membaca email yang pernah ia tulis ini. Sungguh ia tak menyangka Sabeum Edo sampai menghubungi Alvin. Bagaimana Sabeum Edo bisa mengetahui nomor Alvin? Tapi ia sedang tak bisa bertanya macam-macam. Kali ini ia seperti kehilangan sesuatu dari dalam tubuhnya, entah apa ia juga tak tahu. Alvin memandangi Anggi yang semakin membeku, nampaknya terpukul dengan apa yang ia sampaikan barusan. Namun lebih baik disampaikan di sini daripada di rumah Aki, dan sekarang waktu yang tepat, meski mungkin tidak pernah akan ada waktu yang tepat untuk mengatakan hal pahit ini pada adiknya. Anggi diam memandangi pusara Mama, tapi Alvin tahu pasti, air bening dan hangat itu meluncur lagi dari mata indah adiknya, tanpa isak. Anggi masih saja begitu, berpura-pura tegar dan kuat. Padahal Alvin tahu, gadis ini sungguh rapuh seperti kristal yang mudah pecah.  Wajah Anggi makin membeku. Ini isyarat bahwa masalah adiknya bukanlah perkara biasa, tapi Alvin tak tahu harus berbuat apa. Perlahan Alvin merengkuh kepala Anggi, mendekapkan ke tubuhnya, Anggi benar-benar seperti patung, dan tak usah menunggu lama, tangisnya pecah di pelukan kakaknya.
###

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...