“Ukhti-saudari-Nira
apa kabar? Wah, aku suka baca cerpen dan puisimu di majalah Muslimah, tapi kok ABG banget ya? Kenapa enggak angkat cerita
tentang perjuangan saudara-saudara kita di Palestina? Lain kali kalau buat cerita itu yang keislamannya kental dong!”
ucap Diandra berapi-api.
Diandara, teman
kampus, beda jurusan dan fakultas. Jilbab lebar berbodir dua bulan sabit
bertolak belakang. Ya Dian memang terlihat makin sejahtera. Anaknya sudah dua, keluarganya makin bahagia. Itu yang tampak pada penglihatanku. Tapi tetap saja
Dian yang kukenal dulu, masih sama dengan Dian yang kukenal sekarang. Sama!
Sama-sama senang memberikan vonis yang tak seharusnya dia lontarkan. Menyesal
aku bertemu dengannya di resepsi Afifah. Aku tersenyum, berusaha tulus. Tapi terlalu
munafik rasanya bagiku bisa tersenyum
tulus. Aku sudah kecewa dengan orang-orang sepertinya. Yang ada senyum ini tak
bertahan lama.
“Well, apapun yang kutulis, kurasa masih
dalam koridor keislaman. Makasih sarannya, nanti kupertimbangkan. Dian, pulang
dulu ya, aku masih ada acara!” ucapku cepat.
Tapi tanpa sadar tangan ini terkepal dengan kuat. Astagfirullah, aku tak boleh
membenci orang sesholehah sepertinya. Sholehah?
Ah ya tentu saja itu yang terlihat dari luar. Jilbab lebar melambai-lambai,
gamis longgar, dan wajah tanpa make up. Yang terakhir sama denganku, tapi
jilbab yang kupakai tak seberapa lebar, hanya sebatas terjulur menutupi dada,
baju yang tidak ketat, meski tidak bisa dikatakan longgar seperti bajunya. Untuk
ukuran penampilan, muslimah sepertiku sedikit modis, kata sebagian orang di
sana. Tapi lihat Diandra, penampilannya saja jauuh dari kesan modis. Rapi dan
bersahaja. Tapi? Mulutnya? Mengapa selalu mengatakan sesuatu yang tak enak
terdengar oleh telinga. Begitukah perilaku wanita sholehah?
Cepat
kuberhentikan taksi dari depan gedung resepsi. Hari ini bertemu dengan banyak
kawan lama. Reaksi mereka beragam, ada yang menyambut baik, tapi ada juga yang
menyambut kurang mengenakkan, salah satunya ya Diandra tadi. Ibu dua orang anak. Mulanya dia menyapaku, menanyakan kabarku, parahnya
menanyakan statusku yang masih adem-ayem menikmati masa lajang. Dia bahkan
memberika sedikit kutum-kuliah terserah antum(kamu), sebab memang tanpa kuminta
sesuka hati saja dia memberikan percikan kuliah kepadaku yang masih melajang.
Intinya, tak baik menunda-nunda urusan ibadah. Jadi harus disegerakan. Pikirku,
memang siapa yang menunda-nunda? Sampai akhirnya dia mengkritisi penampilanku
yang tampak modis. Berubah! Itu katanya. Padahal menurutku, yang kukenakan ini
masih dalam batasan sesuai Islam agamaku. Bukan hanya agamanya saja. Karyaku
juga tak lepas dari kritik pedasnya. Ya seperti yang dia katakan tadi, terlalu
ABG, picisan, keislamannya kurang kental,
hanya menyentuh remaja, padahal remaja juga harus tahu bahwa di bumi Palestina
sana umat Islam terluka. Aku sepakat, tapi tak begitu. Kalau dia bisa, coba
saja dia buat duluan, nanti aku tiru. Dulu waktu masih kuliah juga Diandra
pernah mengkritisi buku yang kubaca. “Hari gini masih baca novel? Masih jaman?”
tajam dan menukik kata-katanya, menyayat telingaku. Tapi enteng dan ringan
sekali dia mengatakan itu, tanpa butuh jawabanku, dia masuk saja ke mushola
fakultas, untuk sholat zuhur. Aku hanya bisa mengelus dada. Memangnya kenapa
dengan membaca novel? Sekali lagi, toh yang kubaca bukan novel porno! Diandra,
satu muslimah yang telah membuatku kecewa. Dan ternyata, di luar sana ada
banyak sosok seperti Diandra yang juga membuat hati ini harus kebal dengan
perilaku buruk mereka. kadang kuberpikir, mereka manusia juga, bukan malaikat.
Kali kedua pasca
kampus, aku kembali dikecewakan dengan perilaku seorang teman. Dia dari salah
satu komunitas yang awalnya kupikir baik. Menegakkan yang hak dan yang batil.
Orang yang cukup terpandang dan disegani di kalangan kami. Tapi nyatanya? Perih
untuk diingat, tapi terpaksa memory ini harus kembali mengingat. Waktu itu aku
jaga di posko bencana alam, saat kebanjiran. Bapak bersahaja itu mendatangiku,
mengatakan bahwa aku harus selektif untuk memberi bantuan, sebab dari
golongan”kami” ada banyak juga yang terkena musibah, “mereka” harus
diprioritaskan. Sadis! Ini bencana alam, mengapa harus memilih-milih untuk
membantu teman. Kuelus dada, kok begitu.
Selanjutnya di
lain waktu, ada seorang teman yang menawarkan pekerjaan untukku, aku tolak
dengan halus. Alasannya, aku juga sudah bekerja, kemudian ada temanku yang
begitu membutuhkannya, tapi dia bertanya, Apa temanmu dari golongan “kita”? aku
jawab bukan. Maka dengan berkelit dia menolak. Suruh saja cari pekerjaan di
tempat lain, itu katanya. Aku menggigit bibir, Ya Allah..mengapa dengan
mudah”mereka” mengkotak-kotakkan seperti itu? Ah, jika dilist banyaklah perilaku
yang tak pantas dilakukan oleh”mereka”, nyatanya di kantor, aku pernah difitnah
juga oleh orang yang kupikir sama sepertiku, dia berjilbab rapi, kata-katanya
begitu halus dan lembut, tak ada yang menyangka dia suka lain bicara. Di sana
beda-Di sini beda, asalkan dia senang.
Dan kali ini
mereka juga berkata aku sudah jauh berubah, mulai menyukai film, lagu yang tak
seharusnya dinyanyikan. Memangnya mereka tahu tentangku? Hanya
dari film dan lagu mereka dengan mudah memvonis keimananku? Memvonis
bahwa aku sudah tak tergabung lagi dalam komunitas mereka. Tak peduli komunitas
apa, toh aku masih muslim, Insya Allah tetap muslim sampai
akhir hayat. Yang menegakkan sholat, tidak menyekutukan Allah, dan
mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusannya. Mereka tak perlu tahu,
cerita yang kutulis memang ringan, berbau cinta dan remaja, tapi itulah pesan
yang paling mudah disampaikan untuk remaja. Mereka juga umat, yang harus
terkena percikan pengingat. Terserah, aku dikatakan sudah tak tergabung dalam
komunitas, memangnya mereka tahu apa yang kulakukan? Padahal mereka juga tidak
pernah bertemu fisik denganku, kecuali di resepsi ini. Mereka menilaiku hanya
karena dari situs jejaring social, saat aku membagi aktivitasku yang aneh-aneh, padahal bisa saja bukan sebenarnya. Aku seorang penulis, apa saja bisa kutuliskan. Tapi dengan
mudah mereka mengetuk palu, memvonis dengan keras. Mengatakan aku sudah banyak
berubah.
Ah, “mereka”
mengecewakan! Lihat saja, waktu itu seniorku sakit keras, liver selama tiga
bulan, tapi apa yang ia dapat? Senioirku itu sama sekali tak dijenguk oleh
“petingginya” bahkan mengatakan semoga lekas sembuh saja tidak. Lagi-lagi aku
geram. Mereka selalu menganggap diri mereka berbeda, merasa baikkah? Atau
paling benarkah? Entah aku tak tahu. Tapi yang pasti kelakuan mereka sama
sekali tidak bisa dijadikan teladan. Aku juga tidak menggeneralisir, tidak. Di
antara mereka juga ada orang sholeh
yang benar-benar sholeh. Yang tidak hanya kesholehan secara
vertikal, tapi juga sholeh secara sosial. Tapi yang muncul
kepermukaan sayangnya adalah orang-orang yang perilakunya tampak baik dari
permukaan. Bibirnya begitu mudah berbicara tentang nilai-nilai kebaikan, tapi
aplikasinya? Jauh dari sikap professional, kebaikankah itu?
Aaaah, berbicara
tentang “mereka” tak akan pernah ada habisnya. Tapi yang jelas, apapun yang
mereka tuduhkan padaku, yang mereka voniskan padaku, tak akan menyurutkan
langkahku untuk tetap bergerak, meski kata mereka aku tak tergabung dalam
komunitas. Itu kan katanya, tapi menurutku, aku masih bergerak
menyerukan kebaikan bersama ribuan tentara Allah yang lain, yang tak lagi
sesumbar dengan banyak embel-embel sebutan ini-itu, yang tak resah meski telah
dianggap tidak masuk dalam komunitas. Sebab Allah Ghoyatuna.
“Mbak sudah
sampai,” tiba-tiba supir taksi merobek lamunanku. Aku tersenyum, sambil
memberikan dua lembar lima puluh ribuan. Sesuai dengan yang terlihat pada argo
di dashboard mobil.
Dan kulangkahkan
kaki menuju gedung bertingkat tujuh belas. Ada banyak puluhan orang berbeda bangsa
dan agama di dalam sana. Kini saatnya
kutunjukkan eksistentensiku sebagai seorang muslimah. Muslimah Indonesia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar