Bicara
tentang coklat, maka bicara tentang sebuah rasa yang begitu personal.
Coklat atau Theobroma cacao adalah sebuah hidangan istimewa para dewa, begitu
suku Aztek menyebutkan. Ya, karena memang secara geografis persebaran kakao
awal mula di sepanjang Hutan Amazone hingga Amerika Tengah. Maka awal mula yang
mengkonsumsi minuman pahit ini adalah suku Maya dan Aztec. Begitu personalnya
coklat pun menjadi semacam hidangan sebagai simbol ucapan terima kasih,
perhatian, dan cinta, kebiasaan mengkonsumsi coklat di Eropa baru terjadi pada
awal abad ke 17, juga sebagai hidangan elite para bangsawan dan raja-raja dan
merupakan pemberian istimewa yang diperuntukkan kepada yang istimewa.
Well,
itu sekelumit sejarah coklat yang saya tangkap dari hasil penelusuran pada
mesin cari internet. Apa pasal? Entah karena penasaran, atau memang karena baru
saja makan coklat pemberian dari orang yang saya cintai dan mencintai saya. Sebab
begitu istimewanya si coklat ini, sepertinya dari sepuluh orang mungkin sekitar
delapan orang menyukai coklat yang memiliki rasa pahit hingga bermetamorfosis
menjadi manis dan menggemaskan. Dan bahkan menurut survey BBC bahwa lumernya
lemak coklat di mulut bisa meningkatkan debar jantung dan aktivitas otak yang
lebih kuat. Namun sayangnya saya termasuk dua orang yang bukan penggemar
coklat, sebab saya tidak paham dengan rasa lumer dari si kecil berharga
fantastis.
Biasa
saja, bagi saya yang bukan pecinta fanatik coklat, menikmati coklat sebagai
makanan atau minuman yang sama dengan saya meminum perisa yang lain. Tak ada
sensasi lain, selain rasa subyektif dari seseorang yang memberikannya.
Disebutkan juga bahwa coklat sebagai kandungan yang kaya akan antioksidan,
pencegah radikal bebas, dan meningkatkan serotonin dalam otak. Sekali lagi, kecuali
fungsi kesehatan dan fungsi psikologis, bagi saya coklat adalah sesuatu yang
biasa saja.
Dan
yang menjadikannya memiliki rasa personal bagi saya adalah, ketika saya memakan
coklat, lalu teringat kembali masa kecil saya, dimana saya penggila coklat.
Mulai dari minuman rasa coklat, wafer, biskuit, hingga chiki dengan perisa
coklat. Dan coklat batangan berlogo ayam berkokok dengan jengger merah, hingga
coklat batangan yang sering mondar-mandir promo di televisi pernah menjadi
makanan favorit saya. Hingga akhirnya sesuatu yang berlebihan berefek tidak
baik dan meninggalkan sebuah rasa tersendiri yaitu BOSAN. Beranjak dewasa, sensasi coklat tak ada apa-apanya bagi saya,
menikmati coklat bukanlah bagian yang istimewa. Meski tidak istimewa bukan
berarti menjadikan saya coklatophobia (bikin istilah sendiri..hehe maaf)
Dan
kini saya menggarisbawahi bahwa coklat memberikan rasa yang personal. Antara
saya dengan masa kecil, dan saya dengan masa kini, disebabkan suami penggemar
coklat. Dia, cinta, coklat dan semuanya yang dia berikan kepada saya menjadikan
rasa coklat begitu personal. Lumer..lumernya sama dengan saat saya memandangi
wajah anak saya dan wajah suami saya. Bahagianya tak kalah dengan bahagia yang
diberikan hormone bahagia coklat. Dan Allah sebaik-baik pencipta di dunia ini,
biji yang begitu pahit ternyata begitu istimewa. Maha Besar Allah dengan segala
ciptaanNya. Allahualambishowab.
Bagaimana
dengan para sahabat…pecinta coklat juga kah … ???
Selamat
rehat
Putse,
Sragen 11102016, 22.27 WIB
Saya punya pengalaman tersendiri dengan si
coklat yang katanya menjadi favorit sebagian besar penduduk bumi (dan maaf ini
bukan data hasil survey, anggaplah pengamatan ngawur saya). Si manis coklat
yang jadi primadona, mulai dari makanan, minuman, hingga material kecantikan
dan perawatan tubuh bagi kaum metropolis. Dan saya ketika masih kecil hingga
usia sekolah dasar adalah penggila coklat. Mulai dari coklat kampong dengan
merek hewan berkokok berbungkus kertas warna merah dan sedikit putih, hingga
coklat yang sedang ngetrend di jaman
saya kala itu. Coklat yang