Rabu, 10 April 2013

Saat Salju di Bavaria



Lelaki ini masih ingin berlama-lama, berteman dengan salju, padahal suhu telah sampai -10 derajat. Pria bermata biru ini duduk di bangku taman kota Munich- Bavaria. menyandarkan kepala, hatinya letih teramat sangat. Telah 7 tahun ia tinggalkan Bavaria, tapi semua tetap sama, Bavaria tetap anggun dengan pesonanya, Minuman bir kelas atas telah habis diteguk guna menghangatkan diri. Tak heran, Bavaria memang tersohor dengan kualitas bir diseantero negeri. Musim gugur kemarin, tepatnya bulan Oktober diadakan Oktobersfest, menyuguhkan beraneka minuman haram, nan menggoda dari penjuru negeri. Tetapi, bukan karena minuman alkohol tersebut yang menyebabkan pria jangkung ini berada di Bavaria, juga bukan karena keelokan kota Munich yang membuatnya ingin kembali lagi di kota ini lagi, tetapi karena seseorang. 

Seseorang yang praktis telah membuat kesempurnaan luka di hatinya. Praktis membuat segalanya yang ia miliki telah hilang dan porak poranda, seseorang yang telah merubah hatinya yang tadinya selembut malaikat, lantas lindap, berganti menjadi sekeji Iblis. Dan saat ini ia tengah berada di persimpangan jalan antara kembali menjadi malaikat tak bersayap atau selamanya bermetamorfosis menjadi Iblis paripurna. Pria ini masih bersandar di bangku taman dengan sebotol bir yang tergenggam, meski separuh isinya sudah habis tertenggak. Matanya merah, udara dingin menampar-nampar wajah yang kini terlihat kuyu. Butir-butir salju halus menerpa rambut pirangnya. Semua memang dingin saat ini, sedingin hatinya. Namun tidak dengan pipinya. bulir-bulir hangat turun perlahan dari mata birunya. Ini air mata kesedihan, kekecewaan, sekaligus kemarahan. Kembali ia menerawang kejadian 7 tahun silam. Kejadian itu, tepat di taman ini, Englishcher Garten, taman yang meninggalkan sayatan luka baginya.

Es tut mir leid (maafkan aku) Thom. Aku tak bisa menerima pinanganmu, kita tak bisa hidup bersama. Aku baru saja pindah keyakinan. Dan dari agama baruku ini, tidak mungkin aku menikah dengan pria yang tidak satu keyakinan denganku. Ich liebe dich (aku mencintaimu) Thom, masih mencintaimu, tapi aku ingin komitmen dengan agamaku kini, dan aku lebih mencintai Allah Tuhanku!" dengan tegas wanita bermata biru itu memberikan sebuah pernyataan .

Thomas Luhr, seperti tersengat listrik ribuan volt. Dia sama sekali tak menyangka dengan perubahan gadis ini. Dari ujung kepala sampai ujung kaki Thomas menatap gadis ini dalam-dalam. Gadis yang ditatap malah membuang pandangannya jauh ke depan sana.  Thomas ingin mencari cintanya dalam teduh mata gadis bermata biru saphire itu. Tidak, Allice tidak sedang bergurau pasti. Ia sungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya. Bahkan kini tubuhnya trebalut baju panjang, menutupi lekuk tubuhnya, dan penutup kepala segitiga menjuntai hingga menutupi bagian dada. Allice memang sudah mirip sekali dengan mahasiswi muslim asal negara Timur Tengah yang memegang teguh keyakinannya.

Sejujurnya Thomas tidak pernah sekalipun membenci muslim. Tidak, sungguh, meskipun ia penganut kristen taat, tapi ia bukan Islamophobia seperti Jonathan, Wilhelm, dan Bernhard. Selama ini bahkan ia bisa berhubungan baik dengan mahasiswa muslim yang lain. Tapi, sungguh ia begitu terpukul dengan kekasihnya yang telah pindah keyakinannya menjadi muslim. Thomas membeku, matanya terus menatap tajam pada Allice.

Alice Alenka Kohl telah 1 tahun mempelajari Islam secara diam-diam. Sebelumnya Alice telah menjalin hubungan denganThomas. Di matanya Thomas adalah pria teramat baik, Thomas pria yang begitu berbeda dengan kebanyakan pria-pria Munich pada umumnya. Thomas selalu melindunginya, menjaga kehormatannya, mengertinya apapun yang ia lakukan. Thomas penganut kristen protestan taat tetapi sangat toleran pada semua keyakinan di di negara ini. Thomas sering sekali mengatakan, bahwa ia merasa tak ada hak untuk menyakiti siapapun manusia di bumi ini, bukankah Tuhan telah memberi kesempatan mereka untuk hidup aman dan damai? lalu mengapa kita manusia menjadi begitu buruk dengan mengusik kehidupan pribadinya. Thomas juga pria berhati lembut, ia selalu tak tega jika melihat ada muslim mendapat perlakuan diskriminasi dari para Islamophobis. Secara terang-terangan ia membela, meski akhirnya ia mendapat musuh dari para Islamophobis tersebut. 

Itulah yang membuat Alice makin mencintai Thomas. Ditambah lagi dengan sikap "aneh" bagi pemuda seperti Thomas di negeri liberal ini. Thom tidak merokok, tak minum alkohol, bukan pula penganut seks bebas yang biasa dilakukan oleh muda-mudi di Eropa ini. Allice sudah mengenal Thomas sejak mereka masih di Senior High School, kemudian beranjak sampai ke bangku universitas.

Alice Aisha Kohl juga wanita yang berbeda dengan wanita Eropa pada umumnya, ayahnya yang berasal dari Jerman asli dan ibunya yang masih berdarah Rusia, beragama Katholik Orthodoks. Allice juga antipati dengan seks bebas, karena traumanya pada seorang teman wanitanya yang mati bunuh diri akibat perlakukan buruk dari teman kencannya di sebuah kamar hotel, belakangan diduga teman wanita Allice dibunuh oleh pasangan kencannya sendiri. Begitu menjijikkan. 
Bak gayung bersambut ketika ia memulai persahabatannya dengan Thomas, ternyata Thomas pun memilki prinsip yang sama, maka setelah itu ia semakin dekat dengan Thomas. Semakin dekat, semakin ada benih asmara di antara mereka. Dan Allice maupun Thomas tak kuasa menolak rasa. Dunia pasti tak akan percaya, jika ada muda mudi Eropa yang tidak melakukan hal-hal asusila dalam mengekspresikan rasa cinta mereka. Tapi inilah ajaibnya cinta Allice dan Thomas. Mereka tahun ini bahkan telah merencanakan pernikahan, pernikahan yang keduanya masih di usia dua puluh tahun.
Namun, rencana pernikahan itu sepertinya akan terganti dengan rencana besar yang lain. Setelah Allice mempelajari Islam, ia semakin tahu, bagaimana agama baru ini mengajarkan hubungan antara lawan jenis yang semestinya. Semua prinsipnya ada dalam agama ini, bahkan lebih kompleks dan detail. Ia tahu pun ternyata hubungan asmaranya dengan Thomas adalah sesuatu yang salah, yang tidak seharusnya. Sungguh ia mencintai Thomas, namun ia sedang berusaha menjalankan apa yang ia tahu. Allice hanyalah wanita biasa yang berusaha untuk menjadi baik, meski terseok-seok ia melakukannya. Untuk apa ia lakukan ini? Pertama untuk menjadi tenang di dunia. Agama ini begitu memberi ketenangan yang tidak bisa dibeli oleh apapun. Utamanya juga untuk dapat hidup kekal di surga, dan terselematkan dari api neraka. 

Kembali di taman ini lagi. Allice tak berlama-lama menanti jawab dari Thomas. Sejujurnya hatinya hancur, tapi ini lebih baik, sekaligus untuk menguji apakah Thomas benar-benar mencintainya. Seharusnya jika Thomas memang benar mencintainya, pasti pria tersebut akan menghormati apapun keputusannya, akan memaafkannya, dan akan melepaskannya. Allice sama sekali tidak menuntut Thomas untuk juga pindah pada agama ini, sama sekali tidak. Meski, ia begitu ingin. Namun ia sadar, untuk apa memaksakan sesuatu yang bukan wilayah teritorialnya. Masalah hidayah dan keyakinan, mutlak Allah lah pemiliknya. Dengan langkah pasti, Allice meninggalkan Thomas yang masih bergeming memandangnya. Sekali lagi, Thomas sungguh tak percaya dengan keadaan ini. 
###bersambung####

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...