Malam
ini saya hanya sekedar berbagi ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini
didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun mengalami kebuntuan ide.
Hehhehe. Di era sosial media sekarang ini marak dengan ide-ide yang tertuang
dalam bentuk narasi jurnal, atau pun cerita fiksi. Semua sangat mudah untuk
dapat dinikmati secara cepat. Namun, belakangan banyak juga tulisan yang miskin ide. Maka tak jarang praktek plagiasi jugabertebaran di
mana-mana.
Menuangkan
ide dalam bentuk tulisan dengan menarik adalah salah satu yang paling
diinginkan bagi para pegiat sosial media. Karena memang selain
dapat menghilangkan beban pikiran dalam kepala, menulis adalah salah satu
sarana hiburan paling mudah dilakukan. Meski pada akhirnya seringkali mengabaikan ketebelece dalam tulis menulis. Salah satunya adalah kemampuan mengelola ide.
Itu
juga saya alami sekitar awal tahun 2007 silam. Saat pertama saya bergabung di
jejaring pertemanan semacam Friendster, dan akhirnya tahun 2009 bergabung
dengan produk Mas Mark Zukerburg. Dengan alasan pertama tentu saja untuk
eksistensi mencari jodoh, eeh. Maksud saya untuk mengembangkan kemampuan menulis.
Benar saja dugaan saya. Sangat mudah menuangkan hobi cuap-cuap saya dalam
tulisan di situs jejaring pertemanan yang menyediakan fitur bagi kita untuk lebih leluasa
berekspresi melalui tulisan. Tentu saja dengan kompensasi agar dilihat cepat
oleh banyak orang.
Meski
di tahun yang sama saya sudah mulai memiliki blog. Tetapi respon orang yang
melihat tulisan saya lebih cepat di sosial media ketimbang pada blog anak bau
kencur. Selebihnya saya terus aktif untuk melanjutkan passion ini. Pernah
juga bergabung dengan situs Kompasiana. Atas dukungan dan prakarsa dari senior
saya yang baik hati, meski belum pernah bertemu secara langsung. Lagi-lagi
karena beliau melihat dari tulisan-tulisan yang saya pamerkan di facebook. Mas
Gaz, saya memanggilnya, akhirnya menyarankan untuk bergabung dengan
Kompasiana. Di dalamnya saya bisa lebih banyak menggali ilmu dan mencari jodoh, eeh😅😅. Mas Gaz yang juga seorang editor sebuah penerbitan mayor itu, membuat saya belajar banyak mengenai teknik menulis. Menulis sesuai kaidah, menulis
yang baik, menulis yang menyenangkan, bahkan menulis yang akhirnya bisa
mendatangkan uang.
Baru
di tahun 2010 saya mengikuti kelas menulis, Asma Nadia Writing Workshop. Kelas menulis
satu hari penuh dengan investasi yang terbilang cukup murah. Kenapa saya bilang
murah? Sebab kelas yang saya ikuti dari jam 09.00 sampai jam 17.00 dengan
kapasitas Asma Nadia sebagai salah seorang penulis andal di tanah air itu hanya
membayar Rp500.000,- saja. Tentunya saat itu belum ada kelas-kelas menulis dari
grup-grup media sosial.
Dari
pelatihan itu saya mendapatkan ilmu bagaimana ide yang bertebaran di kepala itu
dikelola. Sekali lagi saya ulangi, dikelola. Kesimpulan saya juga samapai
kepada, bahwa tidak ada ide yang seratus persen orisinil. Semua dipengaruhi oleh
ide-ide para pendahulu. ATM (Ambil, Tiru, Modifikasi), ATM berbeda dengan
plagiasi. ATM itu mengelola ide yang datang ke kepala kita. Tentu saja didasari
oleh asupan bacaan yang kita telan sebelumnya.
Setiap
orang diberikan kemampuan dasar yang sama oleh Allah SWT. Diberikan otak untuk
memaksimalkan kemampuan berpikirnya. Diberikan perasaan untuk memaksimalkan
kemampuan mencipta aneka rupa dan karya. Namun yang akhirnya membedakan adalah
pengoptimalan potensi yang Allah beri. Ide
yang menarik hasil dari pengelolaan yang apik. Memanfaatkan area abu-abu otak
sebagai sarana pengatur kecerdasan. Di sana terdapat tumpukan buku-buku hasil
dari bacaan kita. Lalu mengapa kita menjadi miskin ide?
Pertama
karena kita tidak memahami bagaimana cara mengelolanya.
Kedua,
kita terlalu dikhawatirkan dengan pemikiran sendiri, bahwa ketika menuangkan
ide itu butuh teknik tertentu yang rumit. Sehingga akan sangat memalukan ketika
ide terpublikasi tetapi sarat dengan cacat logika, dan teknik yang tidak tepat.
Ketiga,
kita terlalu malas untuk membaca. Dalam hal ini, saya terutama. Kalau boleh
saya analogikan. Ketika orang kelaparan, berarti dia memang belum makan, atau
kurang makan. ada juga orang yang sudah makan tapi masih merasa lapar. Bisa jadi
asupan nutrisi serta kalori tidak terpenuhi. Sama dengan ketika kita buntu
dengan ide. Bisa jadi karena kita kurang bacaan, atau bahkan tidak membaca buku
sama sekali. Bisa jadi juga kita membaca buku yang tidak “bergizi” sehingga
kebutuhan yang kita inginkan tidak terpenuhi.
Keempat,
godaan gadget lebih besar dari apapun. Heheh. Alih-alih membaca buku online,
membaca novel online, apapun secara online, akhirnya kita sering kurang
disiplin untuk kembali pada tujuan awal. Tidak salah memang membaca apapun
secara online. Tapi hemat saya, membaca buku versi cetak tetap lebih aman dan
lebih mudah menghalau gangguan.
Akhirnya
hanya ada dua kesimpulan besar untuk tetap bisa eksis di dunia literasi ini.
Perbanyak membaca, perbanyak membaca, perbanyak membaca, lalu menulislah. Karena
menulis adalah salah satu cara mengikat ide.
Catatan:
Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi semata. Yang baik boleh diambil,
yang jelak mohon tidak ditiru, terutama proses cari mencari jodoh, eeeh.
Puput
Sekar –Yogyakarta—05.02.2020—11.18 pm