Selasa, 05 Juni 2012

Batas Atmosfer


“Ukhti-saudari-Nira apa kabar? Wah, aku suka baca cerpen dan puisimu di majalah Muslimah, tapi kok ABG banget ya? Kenapa enggak angkat cerita tentang perjuangan saudara-saudara kita di Palestina? Lain kali kalau buat cerita itu yang keislamannya kental dong!” ucap Diandra berapi-api.
Diandara, teman kampus, beda jurusan dan fakultas. Jilbab lebar berbodir dua bulan sabit bertolak belakang. Ya Dian memang terlihat makin sejahtera. Anaknya sudah dua, keluarganya makin bahagia. Itu yang tampak pada penglihatanku. Tapi tetap saja Dian yang kukenal dulu, masih sama dengan Dian yang kukenal sekarang. Sama! Sama-sama senang memberikan vonis yang tak seharusnya dia lontarkan. Menyesal aku bertemu dengannya di resepsi Afifah. Aku tersenyum, berusaha tulus. Tapi terlalu munafik rasanya bagiku bisa tersenyum tulus. Aku sudah kecewa dengan orang-orang sepertinya. Yang ada senyum ini tak bertahan lama.
Well, apapun yang kutulis, kurasa masih dalam koridor keislaman. Makasih sarannya, nanti kupertimbangkan. Dian, pulang dulu ya, aku masih ada acara!” ucapku cepat. Tapi tanpa sadar tangan ini terkepal dengan kuat. Astagfirullah, aku tak boleh membenci orang sesholehah sepertinya. Sholehah? Ah ya tentu saja itu yang terlihat dari luar. Jilbab lebar melambai-lambai, gamis longgar, dan wajah tanpa make up. Yang terakhir sama denganku, tapi jilbab yang kupakai tak seberapa lebar, hanya sebatas terjulur menutupi dada, baju yang tidak ketat, meski tidak bisa dikatakan longgar seperti bajunya. Untuk ukuran penampilan, muslimah sepertiku sedikit modis, kata sebagian orang di sana. Tapi lihat Diandra, penampilannya saja jauuh dari kesan modis. Rapi dan bersahaja. Tapi? Mulutnya? Mengapa selalu mengatakan sesuatu yang tak enak terdengar oleh telinga. Begitukah perilaku wanita sholehah?
Cepat kuberhentikan taksi dari depan gedung resepsi. Hari ini bertemu dengan banyak kawan lama. Reaksi mereka beragam, ada yang menyambut baik, tapi ada juga yang menyambut kurang mengenakkan, salah satunya ya Diandra tadi. Ibu dua orang anak. Mulanya dia menyapaku, menanyakan kabarku, parahnya menanyakan statusku yang masih adem-ayem menikmati masa lajang. Dia bahkan memberika sedikit kutum-kuliah terserah antum(kamu), sebab memang tanpa kuminta sesuka hati saja dia memberikan percikan kuliah kepadaku yang masih melajang. Intinya, tak baik menunda-nunda urusan ibadah. Jadi harus disegerakan. Pikirku, memang siapa yang menunda-nunda? Sampai akhirnya dia mengkritisi penampilanku yang tampak modis. Berubah! Itu katanya. Padahal menurutku, yang kukenakan ini masih dalam batasan sesuai Islam agamaku. Bukan hanya agamanya saja. Karyaku juga tak lepas dari kritik pedasnya. Ya seperti yang dia katakan tadi, terlalu ABG, picisan, keislamannya kurang kental, hanya menyentuh remaja, padahal remaja juga harus tahu bahwa di bumi Palestina sana umat Islam terluka. Aku sepakat, tapi tak begitu. Kalau dia bisa, coba saja dia buat duluan, nanti aku tiru. Dulu waktu masih kuliah juga Diandra pernah mengkritisi buku yang kubaca. “Hari gini masih baca novel? Masih jaman?” tajam dan menukik kata-katanya, menyayat telingaku. Tapi enteng dan ringan sekali dia mengatakan itu, tanpa butuh jawabanku, dia masuk saja ke mushola fakultas, untuk sholat zuhur. Aku hanya bisa mengelus dada. Memangnya kenapa dengan membaca novel? Sekali lagi, toh yang kubaca bukan novel porno! Diandra, satu muslimah yang telah membuatku kecewa. Dan ternyata, di luar sana ada banyak sosok seperti Diandra yang juga membuat hati ini harus kebal dengan perilaku buruk mereka. kadang kuberpikir, mereka manusia juga, bukan malaikat.
Kali kedua pasca kampus, aku kembali dikecewakan dengan perilaku seorang teman. Dia dari salah satu komunitas yang awalnya kupikir baik. Menegakkan yang hak dan yang batil. Orang yang cukup terpandang dan disegani di kalangan kami. Tapi nyatanya? Perih untuk diingat, tapi terpaksa memory ini harus kembali mengingat. Waktu itu aku jaga di posko bencana alam, saat kebanjiran. Bapak bersahaja itu mendatangiku, mengatakan bahwa aku harus selektif untuk memberi bantuan, sebab dari golongan”kami” ada banyak juga yang terkena musibah, “mereka” harus diprioritaskan. Sadis! Ini bencana alam, mengapa harus memilih-milih untuk membantu teman. Kuelus dada, kok begitu.
Selanjutnya di lain waktu, ada seorang teman yang menawarkan pekerjaan untukku, aku tolak dengan halus. Alasannya, aku juga sudah bekerja, kemudian ada temanku yang begitu membutuhkannya, tapi dia bertanya, Apa temanmu dari golongan “kita”? aku jawab bukan. Maka dengan berkelit dia menolak. Suruh saja cari pekerjaan di tempat lain, itu katanya. Aku menggigit bibir, Ya Allah..mengapa dengan mudah”mereka” mengkotak-kotakkan seperti itu? Ah, jika dilist banyaklah perilaku yang tak pantas dilakukan oleh”mereka”, nyatanya di kantor, aku pernah difitnah juga oleh orang yang kupikir sama sepertiku, dia berjilbab rapi, kata-katanya begitu halus dan lembut, tak ada yang menyangka dia suka lain bicara. Di sana beda-Di sini beda, asalkan dia senang.
Dan kali ini mereka juga berkata aku sudah jauh berubah, mulai menyukai film, lagu yang tak seharusnya dinyanyikan. Memangnya mereka tahu tentangku? Hanya dari film dan lagu mereka dengan mudah memvonis keimananku? Memvonis bahwa aku sudah tak tergabung lagi dalam komunitas mereka. Tak peduli komunitas apa, toh aku masih muslim, Insya Allah tetap muslim sampai akhir hayat. Yang menegakkan sholat, tidak menyekutukan Allah, dan mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusannya. Mereka tak perlu tahu, cerita yang kutulis memang ringan, berbau cinta dan remaja, tapi itulah pesan yang paling mudah disampaikan untuk remaja. Mereka juga umat, yang harus terkena percikan pengingat. Terserah, aku dikatakan sudah tak tergabung dalam komunitas, memangnya mereka tahu apa yang kulakukan? Padahal mereka juga tidak pernah bertemu fisik denganku, kecuali di resepsi ini. Mereka menilaiku hanya karena dari situs jejaring social, saat aku membagi aktivitasku yang aneh-aneh, padahal bisa saja bukan sebenarnya. Aku seorang penulis, apa saja bisa kutuliskan. Tapi dengan mudah mereka mengetuk palu, memvonis dengan keras. Mengatakan aku sudah banyak berubah.
Ah, “mereka” mengecewakan! Lihat saja, waktu itu seniorku sakit keras, liver selama tiga bulan, tapi apa yang ia dapat? Senioirku itu sama sekali tak dijenguk oleh “petingginya” bahkan mengatakan semoga lekas sembuh saja tidak. Lagi-lagi aku geram. Mereka selalu menganggap diri mereka berbeda, merasa baikkah? Atau paling benarkah? Entah aku tak tahu. Tapi yang pasti kelakuan mereka sama sekali tidak bisa dijadikan teladan. Aku juga tidak menggeneralisir, tidak. Di antara mereka juga ada orang sholeh yang benar-benar sholeh. Yang tidak hanya kesholehan secara vertikal, tapi juga sholeh secara sosial. Tapi yang muncul kepermukaan sayangnya adalah orang-orang yang perilakunya tampak baik dari permukaan. Bibirnya begitu mudah berbicara tentang nilai-nilai kebaikan, tapi aplikasinya? Jauh dari sikap professional, kebaikankah itu?
Aaaah, berbicara tentang “mereka” tak akan pernah ada habisnya. Tapi yang jelas, apapun yang mereka tuduhkan padaku, yang mereka voniskan padaku, tak akan menyurutkan langkahku untuk tetap bergerak, meski kata mereka aku tak tergabung dalam komunitas. Itu kan katanya, tapi menurutku, aku masih bergerak menyerukan kebaikan bersama ribuan tentara Allah yang lain, yang tak lagi sesumbar dengan banyak embel-embel sebutan ini-itu, yang tak resah meski telah dianggap tidak masuk dalam komunitas. Sebab Allah Ghoyatuna.
“Mbak sudah sampai,” tiba-tiba supir taksi merobek lamunanku. Aku tersenyum, sambil memberikan dua lembar lima puluh ribuan. Sesuai dengan yang terlihat pada argo di dashboard mobil.
Dan kulangkahkan kaki menuju gedung bertingkat tujuh belas. Ada banyak puluhan orang berbeda bangsa dan agama di dalam sana. Kini saatnya kutunjukkan eksistentensiku sebagai seorang muslimah. Muslimah Indonesia.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...