Kamis, 06 September 2012

Catatan Kecil Jelang Pemilukada DKI Jakarta (Lee Myung-bak yang Menginspirasi, Sepintas Ahmadi Nejad Juga)



“It’s a sweet memory 30’years ago when I was young. But now I believe Indonesian together with Korean parteners are continuing the construsctions and bilateral cooperation for the betterment of Indonesia.”
 Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Korea Selatan ketika melintasi mulusnya tol Jagorawi, menuju pabrik Garmen Korea di kawasan Gunung Putri, Bogor. Kunjungan kerja tahun 2009 (artikel Rakyat Merdeka 2009, Kusmayanto Kadiman).
Lee Myung-bak, Presiden Korea Selatan, terpilih awal tahun 2008. Lahir di Osaka-Jepang tahun 1941 dari pasangan petani miskin. Ketika itu Korea Selatan masih di bawah kendali Jepang. Setelah itu mereka tinggal di Pohang-Korea. Hidup dari keluarga miskin, menyebabkan ia harus rela makan apa adanya, termasuk ampas gandum. Gigih, cerdas, dan pekerja keras, itulah sosok Lee muda. Hingga sejak duduk di sekolah dasar hingga universitas selalu melalui jalan beasiswa. Melanjutkan studi di Seoul National University, dan menjadi aktivitis permanen di sana. Hingga gara-gara statusnya sebagai demonstran yang pernah merasakan dinginnya lantai penjara, menyebabkan Lee kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Beberapa kali Lee selalu ditolak saat melakukan lamaran pekerjaan di perusahaan, salah satunya adalah Hyundai Group. Hingga suatu masa Lee melakukan protes dengan menulis surat pada presiden Korea kala itu. Dia menuliskan betapa sulitnya mencari lapangan pekerjaan hanya karena statusnya sebagai seorang demonstran. Dari tulisan kecil inilah yang akhirnya mengubah jalan hidup Lee. Dengan kerja keras dan kecerdasaannya hingga CEO Hyundai Group melirik dan memanggilnya untuk bergabung di Hyundai Group dan menuai karir sukses di sana.
Tahun 1992, Myung-bak terjun dunia politik praktis. Hingga ia akhirnya terpilih menjadi walikota Seoul. Setelah menjadi walikota pun jiwa aktivitisnya masih melekat dalam diri Myung-bak. Ia melakukan banyak perubahan dengan program-program Seoul sebagai kota ramah lingkungan. Banyaknya taman kota sebagai penyeimbang pembangunan yang terus menerus tumbuh, sarana transportasi yang memadai, taman bermain, fasilitas olah raga, sungai bersih, hingga pemanfaatan sungai sebagai prasarana transportasi dan rekreasi. Dengan adanya waterway di Seoul. Maka layaklah jika Myung-bak mendapat gelar pejuang lingkungan versi majalah TIME.
Awal tahun 2008 Lee Myung-bak berhasil melenggang menuju Blue House, melalui proses pemilihan yang demokratis. Sebuah perjuangan panjang untuk bisa menghasilkan sesuatu yang berharga. Tentunya bukan hanya dirasakan untuk pribadi, tetapi juga bermanfaat untuk masyarakat luas.
Perjuangan Lee Myung-bak, seolah memaksa ingatan saya saat membaca artikel tentang gigihnya Presiden Iran Ahmadi Nejad yang juga berjuang mendobrak segala kebiasaan yang menghambat pembangunan bangsa. Lihat saja Iran sekarang tumbuh menjadi negara insustri baru yang telah begitu jauh melenggang meninggalkan Indonesia. Iran lepas dari pengaruh negara-negara kapitalisme. Iran mencoba berdiri sendiri. Muncul pertanyaan dalam kepala. Siapakah yang beruntung. Rakyat Korea dan Iran yang memiliki pemimpin sehebat Lee Myung-bak dan Ahmadi Nejad? Ataukah kedua pemimpin negara tersebut yang beruntung memeliki rakyat yang kooperatif dan mau bersama-sama melakukan perubahan? Ah, entahlah saya tak tahu pasti.
Kini saya bermimpi, andai Jakarta memiliki pemimpin berjiwa aktivis seperti Myung-bak. Berani mendobrak berbagai pernak-pernik kotor yang sudah melembaga di Indonesia, tentunya seperti harapan Presiden Korsel, Jakarta-Seoul bisa menjadi partner sejajar. Andai Sungai Ciliwung terberdaya seperti Sungai Han. Dimanfaatkan dengan baik sebagai sarana transportasi dan rekreasi. Andai fasilitas angkutan umum benar-benar mudah dan nyaman, hingga tak perlu lagi suara bising klakson dari kendaraan pribadi yang memekakkan telinga hanya karena tak sabar berada dalam antrian kemacetan panjang. Andai taman kota di Jakarta tersedia cukup banyak, sehingga bisa menjadi penyeimbang Jakarta yang terus tumbuh dalam pembangunan. Ah..andai, tanpa mengecilkan kota tempat saya dibesarkan dan tempat saya berpeluh-peluh mencari sesuap nasi. Saya akan memejamkan mata dan bermimpi lagi. Jakarta seindah Seoul. Sehingga tak perlu lagi ada kiblat Hallyu besar-besaran yang utopis karena Jakarta sudah mampu menjadi twin city Seoul. Bermimpi sajalah, meski tak tahu kapan terwujud. Namun bukankah semua yang sudah kita dapatkan di hari ini adalah hasil dari mimpi-mimpi kita di hari kemarin? Sama seperti mimpi Korea Selatan yang ingin mengungguli Jepang (negara penjajahnya) dan kini berbondong-bondong Seoul menjadi destinasi wisata, tak kalah dari Tokyo. Sekedar catatan saja, Korea merdeka dari penjajahan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, hanya lebih dua hari saja dari kemerdekaan Indonesia.
So..tahukah Anda apa yang menyebabkan Lee Myung-bak merasakan memory manis saat melintasi tol Jagorawi? Hmm, sebab dialah yang menjadi kontraktor pembangunan tol tersebut di era pemerintahan Presiden Suharto, saat berusia 30 tahun. Maka perjalanan manis itu kembali mengingatkan atas hasil keringatnya membangun jalan tol yang mulus untuk Indonesia. Semoga Jakarta bisa belajar dari Seoul.  
(referensi: hasil selancar di Internet, artikel Rakyat merdeka-tulisan Kusmayanto Kadiman, yang dibukukan oleh PT Gramedia, dalam buku berjudul: Sains dan Teknologi, jika dalam tulisan ini ada data yang tidak benar, mohon diralat.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...