Kamis, 20 September 2012

Sepucuk Surat dari Jakarta ke Surakarta (catatan setelah Pilkada DKI Jakarta)


Selamat ya Pak Jokowi, kalau dari perhitungan LSI, Bapak yang melenggang menuju DKI 1.
Walaupun saya tidak milih Bapak lho, jangan tanya kenapa ya Pak. Itu hak saya, tapi saya mendukung siapapun yang menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Saya orang Jawa asli Pak, besar di Jakarta. Yaaa meski hanya sedikit-dikit bisa bahasa Jawa, setidaknya kalau ada pertunjukkan wayang kulit saya tahu artinya lho. Eh, nuwun sewu Pak jadi ngelantur. Begini lho, saya mau ngomong panjang lebar, enggak apa-apa ya Pak. Pastinya Bapak paling pahamlah tentang ilmu-ilmu menata kota. Dan ini curhatan pertama saya sebagai penduduk yang memiliki KTP Jakarta, sebelum Bapak memimpin kota tempat saya dibesarkan mulai dari TK hingga kini berpeluh-peluh mencari sesuap nasi.
Pak Jokowi, ini Jakarta, jumlah penduduknya (kalau dari pemberitaan di media) ada sekitar dua puluh delapan juta jiwa, kalau sama Surakarta? tentu jauh ya Pak. Luas wilayahnya kalau di peta saja sudah kelihatan lebih luas Jakarta. Topografinya juga tidak sama. Pak, di Jakarta ini beragam kawasan ada. Ada kawasan yang elite, percontohan, expatriat, hingga kawasan kumuh (slum area). Kalau di kawasan percontohan lalu lintas lumayan tertib Pak, tidak terlalu semrawut, sebut saja kawasan Sudirman, Thamrin, Kuningan, Gatot Subroto, Menteng, Merdeka Selatan, Senayan, dan beberapa kawasan elite yang lain. Di sana saya merasa nyaman dengan moda transportasi Trans Jakarta, peninggalannya Bang Yos. Kendaraan di sana ya tetep aja padat Pak, wong namanya Jakarta, tapi terkendalilah, trotoar di sana sesuai fungsinya, kendaraan umum juga nurut, kalau lampu merah enggak asal serobot. Tapi sayang itu hanya di kawasan tertentu kayaknya. Apakah Bapak sudah ngider-ngider Jakarta secara keseluruhan? Monggo Pak, nanti saat seratus hari pertama, Bapak bisa jalan-jalan sendirian (jangan dikawal pakai Patwal Gub) coba Bapak sambangi Kampung Melayu, Cililitan, Kramat Jati, Condet Raya, Tanah Tinggi, Sunter, Tanjung Priok, Pasar Minggu, Grogol, Kalideres, Kota, Mangga Dua, Rawamangun, Pondok Pinang, Pasar Jumat, Prumpung, Pisangan, Kalimalang, dan beberapa kawasan padat lainnya (eits, tapi saya bukan kenek lho Pak ^^)
Nah, di kawasan yang saya sebutkan tadi, bener-bener bikin stress Pak. Di sana para pengemudi kendaraan bermotor yang tadinya anteng dan tertib di kawasan elite, mendadak berubah jadi brutal di kawasan padat tadi. Dengkingan klakson seolah menujukkan arogansi pengemudi. Aslinya Jakarta ya di kawasan padat tadi. Wajah Jakarta sekali. Ditambah lagi banyak moda transportasi yang sudah tidak layak jalan. Tapi mereka suka jadi "Raja jalanan" main hantam, mein seruduk, main tabrak, lucunya banyak kendaraan enggak lolos uji emisi bahan bakar, tapi mereka tetap dibiarkan beroperasi. 
Pak, saya ingin sekali lho Jakarta punya citywalk, seperti di koridor Ngarsopuro, kalau yang saya dengar dari pemberitaan di media, koridor ngarsopuro, di Jalan Slamet Riyadi itu ada citywalk kan? Yang orangnya enak berjalan kaki dan bersepeda. Jujur saya sama sekali belum pernah ke kota yang Bapak pimpin sebelumnya-paling cuma lewat-tapi mendengar cerita dari sanak saudara yang baru tinggal di sana, sepertinya kota Bapak itu cozy sekali ya? bersih, dan rapi. Tapi sekali lagi, Pak ini Jakarta, tentunya berbeda dengan Surakarta. Ruang terbuka hijau di sini jarang sekali. Ya jikapun ada, ya itu hanya di kawasan-kawasan tertentu. Selebihnya?? Hmmm...kebanyakan untuk mall Pak, peruntukan daerah resapan air pun menjadi suatu yang sangat langka. Enggak heran kalau Jakarta langganan banjir. Mending Pak kalau banjir duit, lha ini banjir air kali yang butek dan bikin penyakit.
Oh ya balik lagi ngomongin Mall, saya mendengar cerita tersendiri tentang ide Bapak. Pak Jokowi ini punya ide kalau sebaiknya pasar tradisional itu harus enak, bersih, dan nyaman-kan? sehingga banyak orang yang berduyun-duyun pergi ke pasar tradisional daripada ke Mall. Halah Pak-Pak, silakan Pak nyambangi daerah Kramat Jati, di sana ada pasar tradisional namanya ya Pasar Kramat Jati, wajah pasarnya? waduuh masih ada yang becek, bau ikan, ngambil  badan jalan, jadi kalau jam-jam anak berangkat sekolah muaceeette poooll! Di Jakarta masuk sekolah jam setengah tujuh, tapi anak sekolah harus berjuang jalan jam setengah enam pagi, meskipun jarak dari rumah ke sekolah kalau lancar bisa ditempuh dalam waktu setengah jam, tapi karena harus melewati "daerah hitam' yaaa harus sangat pagi untuk bisa sampai ke sekolah tanpa terlambat. Sarapan juga harus pagi buta (sudah seperti sahur saja), ini pengalaman saya saat jadi anak sekolah dan melewati daerah hitam itu. Nah balik lagi ke Pasar Kramat Jati, sekitar 50 meter dari Pasar itu ada Mall yang juga menyediakan kebutuhan dapur(bahan pangan/buah dan sayuran) alhasil banyak-lah yang memilih belanja di kawasan yang lebih nyaman ketimbang di pasar yang becek dan bau ikan. 
Nah menurut pemberitaan media lagi nih Pak, katanya Bapak berhasil ya merelokasi PKL(Pedagang Kaki Lima) di Banjarsari (kawasan elitenya Surakarta) ke pasar Klitikan, cara nggusurnya pun manusiawi sekali, ada arak-arakan para pengawal kraton segala. Hmm, kira-kira bisa enggak ya Pak, kalau PKL di Jakarta direlokasi ke tempat yang lebih baik. Kami para pejalan kaki juga butuh kenyamanan, dan mereka para PKL juga membutuhkan mata pencaharian, jadi win-win solution gitu lho. Saya suka nyesek Pak, saat lihat PKL digusur paksa sama Bapak-bapak berseragam biru donker (Satpol PP) Nggusurnya itu lhoo, pakai pentungan segala, moso' memperlakukan manusia harus sampai seperti itu sih? Saya berharap semoga  Bapak bisa menerapkan keberhasilan di Surakarta ke Jakarta.
Hmm, sebenarnya masih banyak buanget curhatan saya, tapi segini dulu saja, lain waktu kita sambung. Ini Jakarta, tentunya begitu beragam orang dengan karakter yang berbeda, kata orang sih orang Jakarta itu sedikit suka mbalelo (baca: berontak), beda dengan warga Surakarta yang cenderung lebih kalem dan mudah diatur, mungkin karena secara historis, dan cultural yang homogen kali ya Pak. Ehm, tapi warga DKI enggak semua mbalelo kok Pak, masih banyak lho warga Jakarta yang baik-baik dan bisa diatur.
Baiklah Pak, selamat datang di Jakarta. Selamat merasakan sakit kepala. Selamat bertugas di kota yang begitu beraneka, seperti rasa Gado-Gado Jakarta. Bukannya saya mau meletakkan semua beban seluruhnya di pundak Bapak, tapi setidaknya ini harapan wong cilik seperti saya. Saya sadar membuat surga, bukanlah tanggung jawab pemimpin semata, tap juga ada kerjasama dengan orang-orang yang dipimpin. Namun saya garis bawahi ya Pak, pemimpin juga harus bisa menciptakan kerjasama yang baik dengan orang-orang yang dipimpin. Sehingga terjadilah perubahan seperti yang banyak orang inginkan. Termasuk saya tentunya. ^_^V
(Allahualambishowab)

2 komentar:

  1. hehehe....waktu kampanye....ada beberapa tempat yang mba puput sebutkan saya datengi....krn simbok saya foto bareng... (daerah pinggran kali yg sering kebanjran end deket Kramat Jati...and udah smpet blanja juga...) hehehe... Jalan kaki, panas2 pula,,,tp ndak tau besok klo sdh jd ya...apakah tradisi nyambangi wong cilik masih beliau lakukan...??? kita tunggu saja aktionnya....sekilas info dari aku... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm, iya saya sebenernya sih lebih milih pemimpin yang seakidah (wakilnya enggak seakidah)saya sebagai muslim, itu yang saya pahami. Tapi sekarang apapun terjadi saya terima saja gubernur DKI, mau dari mana asalnya dan seperti apa wakilnya. Terima kasih infonya, tapi ngomong-ngomong Anda siapa ya? hehehee, enggak mencantumkan nama.

      Hapus

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...