Ini pusara Mama, Anggi masih berdiri mematung di
depannya. Mulutnya terkatup, wajahnya membeku, tapi ujung matanya terasa
menghangat. Rambutnya yang diekor kuda bergoyang diterpa semilir angin di
kompleks pemakaman ini. Sudah setahun lebih, ia benar-benar kehilangan sosok
yang sangat berharga dalam kehidupannya. Hidupnya sudah tak berarti lagi. Untuk
apa ia susah-susah meraih mimpi, untuk apa? Mama sudah tiada, ia tidak
termotivasi untuk melakukan apa-apa lagi. Medali-medali itu untuk siapa?
Kemenangan itu untuk siapa? Jika bukan untuk Mama. Anggi jongkok di depan
pusara Mama, mengusap nisan Mama.
“Ma...,”
ia membuka pembicaraan, meski begitu terbata. “Anggi sekarang makin tak
berdaya, hidup ini Anggi jalani hanya sekedar karena Tuhan masih memberi
kehidupan untuk Anggi, hanya sadar bahwa bunuh diri akan memberi siksa di hari
pembalasan nanti, itu kata Mama dulu. Hanya karena Anggi masih ingat kata Mama
bahwa kita hrus berani hidup dan jangan takut mati. Tapi Ma...,hidup Anggi
sungguh tak berarti lagi..Anggi cuma boneka dalam kehidupan ini. Anggi hanyalah
menjadi orang-orang yang kalah Ma. Tanpa Mama, Anggi bukan apa-apa. Biarkan
takdir puas melihat Anggi yang sekarang ini. Entah Anggi akan menjadi orang
yang seperti apa, Anggi juga tak tahu.”
Mata
bening dan tajam itu sudah penuh dengan air mata yang menganak sungai di pipi,
terus mengalir ke dagunya yang indah. Cairan hangat itu terus mengalir, tanpa
isak, hingga terasa sesak sangat di dada. Hingga tepukan lembut dari tangan
seorang pria mendarat di pundaknya. Ia menoleh, pria itu ternyata sudah jongkok
di sebelahnya.
“Jangan
bicara begitu Nggi, Mama akan lebih sedih kalau Anggi begini.”
Anggi
menyeka air matanya. “Maaf Mas, aku terbawa perasaan.”
“Kenapa
Anggi mengubur mimpi, mau sampai kapan Anggi begini?” tanya Alvin pelan, tapi
tajam, matanya menatap Anggi dalam, seolah menginginkan kejujuran di sorot mata
itu.
Seketika
Anggi terkejut dengan pertanyaan tersebut. Tahu darimana Alvin tentang impian yang
sudah ia kubur dalam-dalam?
“Maksud
Mas?” tanyanya dengan kening berkerut.
“Kenapa
Anggi menghilang dari dojang?”
“Mas
tahu darimana? Kata siapa?”
“Teman-teman
di dojang begitu kehilanganmu. Sabeum Edo beberapa kali
menghubungi Mas, ngobrol banyak walau hanya via telepon. Dia bilang kamu tanpa
kabar menghilang dari dojang, nomor kamu ganti, enggak ada hujan enggak
ada angin kamu berbuat begitu, kenapa Nggi? Belakangan kamu kirim email ke Sabeum
Edo kalau kamu terpaksa melakukan ini, hanya untuk mengubur semua mimpi. Kenapa
Nggi?”
Pertanyaan
Alvin membuat matanya makin panas. Jadi Sabeum Edo sampai menghubungi
Alvin? Kenapa bisa? Kapan? Alvin benar, sudah enam bulan ia menghilang dari
klub. Ia memutuskan tidak lagi latihan dan berhubungan dengan taekwondo atau
apapun. Setelah Mama meninggal ia benar-benar kehilangan sosok yang memotivasi.
Latihan pun jadi terasa hampa. Parahnya lagi saat-saat ia latihan, terbayang
lagi wajah Mama saat di rumah sakit, di saat-saat terakhir bersamanya. Konsentrasinya
buyar, seolah-olah ia membiarkan Mama pergi begitu saja. Ia lebih mementingkan
pertandingan daripada Mama saat itu, sungguh ia tak dapat memaafkan dirinya
begitu saja. Dan untuk apa lagi ia melakukan semua ini. Padahal pasca kematian
Mama, ia berusaha menormalkan diri, datang ke dojang seperti biasa, tapi
gagal, ia masih dalam keadaan trauma, bahkan untuk mengikuti kejuaraan saja ia
tak bisa. Hingga akhirnya perlahan ia memutuskan tak datang lagi ke dojang.
Ia mengganti nomor ponselnya, agar tak ada satu pun yang menghubungi. Akses
internet di media sosial juga ia tutup, akun-akunnya semua ditutup, seperti
menutup diri dengan dunia luar. Ia limbung, bagusnya saat itu musim ujian
kelulusan sekolah, teman-teman dan Sabeumnya di dojang memahami mungkin
Anggi melakukannya agar bisa konsentrasi pada ujian nasional. Padahal tidak
demikian adanya. Bagusnya ia bisa lulus ujian nasional di saat sedang limbung
seperti ini. Dan ia tak punya pilihan lain ketika Papa memintanya untuk kuliah,
meski tak sejalan dengan inginnya. Dan baru sebulan yang lalu ia mengirimi
surat elektronik pada Sabeum Edo, pemilik dojang.
“Ini
yang kamu tulis ke Sabeum Edo kan?” Alvin menunjukkan email dari
ponselnya, email yang diteruskan oleh Sabeum Edo atas permintaan Alvin.
Anggi terkejut bukan kepalang. Ia memandangi deretan huruf, kata, dan rangkaian
demi rangkaian kalimat. Ini membuatnya miris lagi.
To : edonugroho@ymail.com
Cc :
Sent : 2012-08-30 09.00
Subject: Maaf
Sabeum Edo yang saya
hormati.
Apa kabar Sabeum? maafkan
muridmu yang selama enam bulan tidak menampakkan diri ke dojang, dan ini
sudah sangat pantas jika Sabeum hendak menendang saya dari klub. Sabeum,
sungguh saya melakukan ini karena saya begitu mencintai taekwondo, saya tidak
ingin menodai taekwondo. Sabeum tahu, saya benar-benar kehilangan
konsentrasi sepeninggal Mama saya. Untuk apa lagi saya berkiprah di dalam
beladiri ini jika orang yang begitu memotivasi saya sudah tiada. Harusnya saat
itu saya di rumah sakit menemani Mama saya menghabiskan waktunya, harusnya saya
tidak ikut pertandingan, toh masih siswa lain selain saya. Tapi apa yang
terjadi, saya begitu mengikuti nafsu saya sebagai juara, saya diburu untuk
memenangkan setiap pertandingan, tapi kini apalah artinya juara tanpa Mama
saya. Sabeum, saya tidak bisa meneruskan taekwondo, percuma jika saya
kehilangan konsentrasi, percuma saya tidak akan bisa merebut medali-medali emas
itu lagi. Saya tidak mau hanya menjadi benalu di klub ini, maka lebih baik saya
mundur. Ini pilihan saya Sabeum, sebelumnya saya mohon maaf dengan
sangat. Semoga suatu hari kita bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.
Mohon maaf untuk semua yang telah saya lakukan, dan maafkan atas sifat saya
yang pengecut, ini hanya karena saya belum siap untuk semuanya.
Salam hormat saya
Anggi
Mata Anggi
panas membaca email yang pernah ia tulis ini. Sungguh ia tak menyangka Sabeum
Edo sampai menghubungi Alvin. Bagaimana Sabeum Edo bisa mengetahui nomor
Alvin? Tapi ia sedang tak bisa bertanya macam-macam. Kali ini ia seperti
kehilangan sesuatu dari dalam tubuhnya, entah apa ia juga tak tahu. Alvin
memandangi Anggi yang semakin membeku, nampaknya terpukul dengan apa yang ia
sampaikan barusan. Namun lebih baik disampaikan di sini daripada di rumah Aki,
dan sekarang waktu yang tepat, meski mungkin tidak pernah akan ada waktu yang
tepat untuk mengatakan hal pahit ini pada adiknya. Anggi diam memandangi pusara
Mama, tapi Alvin tahu pasti, air bening dan hangat itu meluncur lagi dari mata
indah adiknya, tanpa isak. Anggi masih saja begitu, berpura-pura tegar dan
kuat. Padahal Alvin tahu, gadis ini sungguh rapuh seperti kristal yang mudah
pecah. Wajah Anggi makin membeku. Ini
isyarat bahwa masalah adiknya bukanlah perkara biasa, tapi Alvin tak tahu harus
berbuat apa. Perlahan Alvin merengkuh kepala Anggi, mendekapkan ke tubuhnya,
Anggi benar-benar seperti patung, dan tak usah menunggu lama, tangisnya pecah
di pelukan kakaknya.
###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar