Rabu, 19 Juni 2013

Menghilangkan Jejak---Metamorf----



Ini pusara Mama, Anggi masih berdiri mematung di depannya. Mulutnya terkatup, wajahnya membeku, tapi ujung matanya terasa menghangat. Rambutnya yang diekor kuda bergoyang diterpa semilir angin di kompleks pemakaman ini. Sudah setahun lebih, ia benar-benar kehilangan sosok yang sangat berharga dalam kehidupannya. Hidupnya sudah tak berarti lagi. Untuk apa ia susah-susah meraih mimpi, untuk apa? Mama sudah tiada, ia tidak termotivasi untuk melakukan apa-apa lagi. Medali-medali itu untuk siapa? Kemenangan itu untuk siapa? Jika bukan untuk Mama. Anggi jongkok di depan pusara Mama, mengusap nisan Mama.
            “Ma...,” ia membuka pembicaraan, meski begitu terbata. “Anggi sekarang makin tak berdaya, hidup ini Anggi jalani hanya sekedar karena Tuhan masih memberi kehidupan untuk Anggi, hanya sadar bahwa bunuh diri akan memberi siksa di hari pembalasan nanti, itu kata Mama dulu. Hanya karena Anggi masih ingat kata Mama bahwa kita hrus berani hidup dan jangan takut mati. Tapi Ma...,hidup Anggi sungguh tak berarti lagi..Anggi cuma boneka dalam kehidupan ini. Anggi hanyalah menjadi orang-orang yang kalah Ma. Tanpa Mama, Anggi bukan apa-apa. Biarkan takdir puas melihat Anggi yang sekarang ini. Entah Anggi akan menjadi orang yang seperti apa, Anggi juga tak tahu.”
            Mata bening dan tajam itu sudah penuh dengan air mata yang menganak sungai di pipi, terus mengalir ke dagunya yang indah. Cairan hangat itu terus mengalir, tanpa isak, hingga terasa sesak sangat di dada. Hingga tepukan lembut dari tangan seorang pria mendarat di pundaknya. Ia menoleh, pria itu ternyata sudah jongkok di sebelahnya.
            “Jangan bicara begitu Nggi, Mama akan lebih sedih kalau Anggi begini.”
            Anggi menyeka air matanya. “Maaf Mas, aku terbawa perasaan.”
            “Kenapa Anggi mengubur mimpi, mau sampai kapan Anggi begini?” tanya Alvin pelan, tapi tajam, matanya menatap Anggi dalam, seolah menginginkan kejujuran di sorot mata itu.
            Seketika Anggi terkejut dengan pertanyaan tersebut. Tahu darimana Alvin tentang impian yang sudah ia kubur dalam-dalam?
            “Maksud Mas?” tanyanya dengan kening berkerut.
            “Kenapa Anggi menghilang dari dojang?”
            “Mas tahu darimana? Kata siapa?”
            “Teman-teman di dojang begitu kehilanganmu. Sabeum Edo beberapa kali menghubungi Mas, ngobrol banyak walau hanya via telepon. Dia bilang kamu tanpa kabar menghilang dari dojang, nomor kamu ganti, enggak ada hujan enggak ada angin kamu berbuat begitu, kenapa Nggi? Belakangan kamu kirim email ke Sabeum Edo kalau kamu terpaksa melakukan ini, hanya untuk mengubur semua mimpi. Kenapa Nggi?”
            Pertanyaan Alvin membuat matanya makin panas. Jadi Sabeum Edo sampai menghubungi Alvin? Kenapa bisa? Kapan? Alvin benar, sudah enam bulan ia menghilang dari klub. Ia memutuskan tidak lagi latihan dan berhubungan dengan taekwondo atau apapun. Setelah Mama meninggal ia benar-benar kehilangan sosok yang memotivasi. Latihan pun jadi terasa hampa. Parahnya lagi saat-saat ia latihan, terbayang lagi wajah Mama saat di rumah sakit, di saat-saat terakhir bersamanya. Konsentrasinya buyar, seolah-olah ia membiarkan Mama pergi begitu saja. Ia lebih mementingkan pertandingan daripada Mama saat itu, sungguh ia tak dapat memaafkan dirinya begitu saja. Dan untuk apa lagi ia melakukan semua ini. Padahal pasca kematian Mama, ia berusaha menormalkan diri, datang ke dojang seperti biasa, tapi gagal, ia masih dalam keadaan trauma, bahkan untuk mengikuti kejuaraan saja ia tak bisa. Hingga akhirnya perlahan ia memutuskan tak datang lagi ke dojang. Ia mengganti nomor ponselnya, agar tak ada satu pun yang menghubungi. Akses internet di media sosial juga ia tutup, akun-akunnya semua ditutup, seperti menutup diri dengan dunia luar. Ia limbung, bagusnya saat itu musim ujian kelulusan sekolah, teman-teman dan Sabeumnya di dojang memahami mungkin Anggi melakukannya agar bisa konsentrasi pada ujian nasional. Padahal tidak demikian adanya. Bagusnya ia bisa lulus ujian nasional di saat sedang limbung seperti ini. Dan ia tak punya pilihan lain ketika Papa memintanya untuk kuliah, meski tak sejalan dengan inginnya. Dan baru sebulan yang lalu ia mengirimi surat elektronik pada Sabeum Edo, pemilik dojang.
            “Ini yang kamu tulis ke Sabeum Edo kan?” Alvin menunjukkan email dari ponselnya, email yang diteruskan oleh Sabeum Edo atas permintaan Alvin. Anggi terkejut bukan kepalang. Ia memandangi deretan huruf, kata, dan rangkaian demi rangkaian kalimat. Ini membuatnya miris lagi.
Cc    :
Sent : 2012-08-30  09.00
Subject: Maaf
                Sabeum Edo yang saya hormati.
                Apa kabar Sabeum? maafkan muridmu yang selama enam bulan tidak menampakkan diri ke dojang, dan ini sudah sangat pantas jika Sabeum hendak menendang saya dari klub. Sabeum, sungguh saya melakukan ini karena saya begitu mencintai taekwondo, saya tidak ingin menodai taekwondo. Sabeum tahu, saya benar-benar kehilangan konsentrasi sepeninggal Mama saya. Untuk apa lagi saya berkiprah di dalam beladiri ini jika orang yang begitu memotivasi saya sudah tiada. Harusnya saat itu saya di rumah sakit menemani Mama saya menghabiskan waktunya, harusnya saya tidak ikut pertandingan, toh masih siswa lain selain saya. Tapi apa yang terjadi, saya begitu mengikuti nafsu saya sebagai juara, saya diburu untuk memenangkan setiap pertandingan, tapi kini apalah artinya juara tanpa Mama saya. Sabeum, saya tidak bisa meneruskan taekwondo, percuma jika saya kehilangan konsentrasi, percuma saya tidak akan bisa merebut medali-medali emas itu lagi. Saya tidak mau hanya menjadi benalu di klub ini, maka lebih baik saya mundur. Ini pilihan saya Sabeum, sebelumnya saya mohon maaf dengan sangat. Semoga suatu hari kita bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik. Mohon maaf untuk semua yang telah saya lakukan, dan maafkan atas sifat saya yang pengecut, ini hanya karena saya belum siap untuk semuanya.
Salam hormat saya
Anggi
            Mata Anggi panas membaca email yang pernah ia tulis ini. Sungguh ia tak menyangka Sabeum Edo sampai menghubungi Alvin. Bagaimana Sabeum Edo bisa mengetahui nomor Alvin? Tapi ia sedang tak bisa bertanya macam-macam. Kali ini ia seperti kehilangan sesuatu dari dalam tubuhnya, entah apa ia juga tak tahu. Alvin memandangi Anggi yang semakin membeku, nampaknya terpukul dengan apa yang ia sampaikan barusan. Namun lebih baik disampaikan di sini daripada di rumah Aki, dan sekarang waktu yang tepat, meski mungkin tidak pernah akan ada waktu yang tepat untuk mengatakan hal pahit ini pada adiknya. Anggi diam memandangi pusara Mama, tapi Alvin tahu pasti, air bening dan hangat itu meluncur lagi dari mata indah adiknya, tanpa isak. Anggi masih saja begitu, berpura-pura tegar dan kuat. Padahal Alvin tahu, gadis ini sungguh rapuh seperti kristal yang mudah pecah.  Wajah Anggi makin membeku. Ini isyarat bahwa masalah adiknya bukanlah perkara biasa, tapi Alvin tak tahu harus berbuat apa. Perlahan Alvin merengkuh kepala Anggi, mendekapkan ke tubuhnya, Anggi benar-benar seperti patung, dan tak usah menunggu lama, tangisnya pecah di pelukan kakaknya.
###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...