Rabu, 19 Juni 2013

Antara Antares dan Aldebaran--Metamorf--



Di ruang kerja ini, seorang pria di usia lima puluh tiga tahun, yang dua tahun lagi bersiap memasuki masa pensiun, berdiri termangu. Memandangi photo keluarga ukuran 5 R yang terbingkai mungil di meja kerjanya. Di dalam photo tersebut ia sedang berpose merangkul seorang wanita keturunan Sunda yang begitu ayu, dan diapit anak lelaki dan perempuan yang keduanya sudah dewasa. Keluarga bahagia, kata sebagian orang. Namun, sebagai nahkoda, ia yang tahu apa itu definisi bahagia. Mungkin bahagia, saat ia hidup berkecukupan, memiliki istri cantik dan baik. Mungkin bahagia, saat ia melihat prestasi demi prestasi anak sulungnya yang begitu membanggakan. Di dalam photo ini pose si sulung yang kini sedang melanjutkan studi di salah satu universitas terprestisius di Indonesia memperlihatkan senyum yang begitu ramah dan menyenangkan. Dialah si sulung yang membanggakan. Tapi seketika senyumnya menghilang, saat matanya mengarah pada pose seorang gadis bermata tajam di dalam photo tersebut. Bahagiakah jika ia memliki putri bungsu yang selalu menentang apa yang ia mau? Pun jika menurut semua karena keterpaksaan. Lantas, bahagiakah jika ia memiliki anak wanita yang waktu kecil saja sudah senang memukul anak laki-laki di sekolah, bahkan setiap ambil rapot ia harus menanggung malu saat wali kelasnya mengatakan tabiat putrinya yang suka tidur di dalam kelas? Bahagiakah jika memiliki anak wanita dengan prestasi akademik yang hanya memiliki nilai standar, dan sering melawan apa yang ia mau? Bahagiakah jika anak wanita tersebut kini telah beranjak dewasa tapi tak juga memiliki tujuan hidup yang jelas dan suka berbuat semaunya? Pria ini menghela nafasnya berat.
            Alvin Antares Atmojo, pria yang memiliki tatapan mata yang meneduhkan. Dia sempurna di mata Papa. Dulu saat masih di sekolah, siapa tak kenal Alvin? Cerdas, tampan, pintar, agamis, dan sopan. Sebagian besar kaum hawa di sekolahnya mengagumi Alvin yang cemerlang. Sangat pantas Profesor Shofwan Wiratama memberi  nama tengah Antares untuk cucunya ini. Alvin memang seterang bintang antares.
            Alvin, pria ini memiliki sinar yang begitu sempurna, namun tak menyilaukan mata, seolah tak ada cela, bahkan di saat ia telah memiliki segalanya saja ia malah semerunduk padi yang berisi. Meski banyak gadis yang menyukainya, bahkan mengejarnya, tapi Alvin santai, ia tidak terpengaruh. Dikejar oleh wanita-wanita secantik model majalah remaja, Alvin malah menghindar. Sebenarnya bukan Alvin tak tertarik pada mereka, jujur saja ia juga merasa terganggu, sebab hatinya tak terlalu kuat. Ia pria normal, sama seperti yang lain, yang bisa saja tergoda sewaktu-waktu, tapi untuk apa? ia sadar sekali, perempuan-perempuan yang mengejarnya itu hanyalah sebuah godaan yang akan menghambat cita-citanya. Alvin berusaha menahan diri, ia lebih banyak mendekatkan diri pada Allah Sang Pemilik hati. Di saat istirahat ia selalu ke mushola, sholat dhuha, setelah itu ke perpustakaan. Sebab bagi Alvin, mimpinya jauh lebih besar dari tubuhnya. ITB adalah incarannya untuk melanjutkan studi setelah SMA. Ia sadar, untuk menggapai cita-citanya, membutuhkan banyak usaha rumit dan doa-doa yang melangit. Merayu Sang Penggenggam dunia agar mau mewujudkan mimpi-mimpinya. Ia belajar keras untuk bisa masuk astronomi ITB, kelak ingin menjadi penerus Aki.
            Akan tetapi selalu ada perubahan dalam tiap rencana, Alvin yang sudah belajar keras, harus menerima dengan apa yang dinamakan takdir. Takdir membawanya pada pilihan kedua. Ia harus puas ketika ia terdampar di departemen Fisika di salah satu universitas negeri, bukan ITB. Meski tertatih, Alvin masih terus menyulam mimpinya. Hingga perjuangan demi perjuangan ia lakukan untuk meraih beasiswa studi pasca sarjana di kampus yang ia idamkan selama ini, Institut Teknologi Bandung.
            Lain Alvin, maka lain lagi dengan Anggi. Anggia Aldebaran Atmojo. Gadis dengan tatapan setajam pedang yang menyilaukan ini menempa diri untuk menjadi sang juara sejati. Taekwondo yang jadi pilihannya, fokus dan tanpa lelah, hingga di usia yang ke delapan belas ia sudah meraih sabuk hitam Dan 2. Kejuaraan demi kejuaraan ia menangkan. Anggi atlet kebanggan ibukota. Tapi bukan kebanggan bagi Papa. Prestasi itu sungguh tak ada apa-apanya di mata Papa, malah bukan itu yang Papa mau. Sebab di satu sisi, nilai rapotnya pas-pasan, standar, tidak ada yang dibanggakan. Papa hanya ingin Anggi tumbuh normal seperti layaknya anak perempuan lainnya, dengan prestasi akademik yang memuskan, agar kelak bisa dijadikan pegangan untuk meraih masa depan yang cemerlang.
            Anggi memang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kakaknya. Jika Alvin memiliki banyak teman, Anggi sebaliknya, ia sangat selektif memilih teman, hanya beberapa saja yang bisa dekat dengannya. Dan ia sangat membatasi diri dengan yang lain. Wajahnya dingin, tidak banyak bicara untuk orang yang tak dekat dengannya. Benar, meski Anggi juga bintang, tapi bintangnya Papa yang satu ini sinarnya menyilaukan mata.
            Diam-diam teman-teman pria Anggi, baik di sekolah, di kampus, maupun di dojang[1] banyak yang menyimpan hati untuknya. Namun belum ada satu pun pria yang ia gubris. Perempuan ini terlalu bebal untuk merasakan cinta. Kadang lucu sekali ketika ia mendengar cerita cinta, membaca puisi cinta, kenapa orang begitu bodoh karena cinta? Sebegitunya kah cinta? Cinta baginya hanyalah sebatas dongeng pada novel-novel yang ia nikmati, tapi bukan berarti harus menghinggapinya. Kelak, jika ia harus jatuh cinta, ia berharap tidak sebodoh seperti kisah-kisah yang ia baca dan cerita yang ia dengar. Cinta itu mestinya indah, dan jangan ada air mata. Hingga sampai saat ini ia lurus-lurus saja dengan pria, semuanya ia anggap sebagai teman. Ia perlakukan datar saja, tanpa memberi sinyal apa-apa. Jika ada pria yang nekat menyatakan perasaan kepadanya, maka tanpa kata Anggi langsung menolaknya. Ia hanya menggeleng, menatap tajam pria tersebut, tersenyum dingin, lantas berlalu begitu saja. Dan sudah banyak pria yang menjadi korban penolakan sadis Anggi.
            Aldebaran ini memang menyilaukan. Tinggi, menyilaukan mata, panas, dan tak mudah didapatkan, itulah Anggi, dan ia sangat menikmati kesendiriannya ini. Ia bahkan sama sekali tidak khawatir tidak mendapatkan pacar seperti teman-teman perempuannya yang khawatir jika tak punya pacar, apalagi umurnya sekarang sudah delapan belas. Ia sama sekali tak butuh pacar, baginya pacar hanya akan mengganggu langkahnya menjadi juara sejati. Baginya, juara sejati jangan sampai bermain hati atau ia bisa mati.


[1] Tempat berlatih taekwondo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...