Di ruang kerja ini, seorang pria di usia lima puluh tiga
tahun, yang dua tahun lagi bersiap memasuki masa pensiun, berdiri termangu.
Memandangi photo keluarga ukuran 5 R yang terbingkai mungil di meja kerjanya. Di
dalam photo tersebut ia sedang berpose merangkul seorang wanita keturunan Sunda
yang begitu ayu, dan diapit anak lelaki dan perempuan yang keduanya sudah
dewasa. Keluarga bahagia, kata sebagian orang. Namun, sebagai nahkoda, ia yang
tahu apa itu definisi bahagia. Mungkin bahagia, saat ia hidup berkecukupan,
memiliki istri cantik dan baik. Mungkin bahagia, saat ia melihat prestasi demi
prestasi anak sulungnya yang begitu membanggakan. Di dalam photo ini pose si
sulung yang kini sedang melanjutkan studi di salah satu universitas terprestisius
di Indonesia memperlihatkan senyum yang begitu ramah dan menyenangkan. Dialah
si sulung yang membanggakan. Tapi seketika senyumnya menghilang, saat matanya
mengarah pada pose seorang gadis bermata tajam di dalam photo tersebut. Bahagiakah
jika ia memliki putri bungsu yang selalu menentang apa yang ia mau? Pun jika
menurut semua karena keterpaksaan. Lantas, bahagiakah jika ia memiliki anak
wanita yang waktu kecil saja sudah senang memukul anak laki-laki di sekolah,
bahkan setiap ambil rapot ia harus menanggung malu saat wali kelasnya
mengatakan tabiat putrinya yang suka tidur di dalam kelas? Bahagiakah jika
memiliki anak wanita dengan prestasi akademik yang hanya memiliki nilai standar,
dan sering melawan apa yang ia mau? Bahagiakah jika anak wanita tersebut kini
telah beranjak dewasa tapi tak juga memiliki tujuan hidup yang jelas dan suka
berbuat semaunya? Pria ini menghela nafasnya berat.
Alvin Antares
Atmojo, pria yang memiliki tatapan mata yang meneduhkan. Dia sempurna di mata
Papa. Dulu saat masih di sekolah, siapa tak kenal Alvin? Cerdas, tampan,
pintar, agamis, dan sopan. Sebagian besar kaum hawa di sekolahnya mengagumi
Alvin yang cemerlang. Sangat pantas Profesor Shofwan Wiratama memberi nama tengah Antares untuk cucunya ini. Alvin
memang seterang bintang antares.
Alvin, pria
ini memiliki sinar yang begitu sempurna, namun tak menyilaukan mata, seolah tak
ada cela, bahkan di saat ia telah memiliki segalanya saja ia malah semerunduk
padi yang berisi. Meski banyak gadis yang menyukainya, bahkan mengejarnya, tapi
Alvin santai, ia tidak terpengaruh. Dikejar oleh wanita-wanita secantik model majalah
remaja, Alvin malah menghindar. Sebenarnya bukan Alvin tak tertarik pada
mereka, jujur saja ia juga merasa terganggu, sebab hatinya tak terlalu kuat. Ia
pria normal, sama seperti yang lain, yang bisa saja tergoda sewaktu-waktu, tapi
untuk apa? ia sadar sekali, perempuan-perempuan yang mengejarnya itu hanyalah sebuah
godaan yang akan menghambat cita-citanya. Alvin berusaha menahan diri, ia lebih
banyak mendekatkan diri pada Allah Sang Pemilik hati. Di saat istirahat ia
selalu ke mushola, sholat dhuha, setelah itu ke perpustakaan. Sebab bagi Alvin,
mimpinya jauh lebih besar dari tubuhnya. ITB adalah incarannya untuk
melanjutkan studi setelah SMA. Ia sadar, untuk menggapai cita-citanya, membutuhkan
banyak usaha rumit dan doa-doa yang melangit. Merayu Sang Penggenggam dunia
agar mau mewujudkan mimpi-mimpinya. Ia belajar keras untuk bisa masuk astronomi
ITB, kelak ingin menjadi penerus Aki.
Akan
tetapi selalu ada perubahan dalam tiap rencana, Alvin yang sudah belajar keras,
harus menerima dengan apa yang dinamakan takdir. Takdir membawanya pada pilihan
kedua. Ia harus puas ketika ia terdampar di departemen Fisika di salah satu
universitas negeri, bukan ITB. Meski tertatih, Alvin masih terus menyulam
mimpinya. Hingga perjuangan demi perjuangan ia lakukan untuk meraih beasiswa
studi pasca sarjana di kampus yang ia idamkan selama ini, Institut Teknologi Bandung.
Lain
Alvin, maka lain lagi dengan Anggi. Anggia Aldebaran Atmojo. Gadis dengan
tatapan setajam pedang yang menyilaukan ini menempa diri untuk menjadi sang
juara sejati. Taekwondo yang jadi pilihannya, fokus dan tanpa lelah, hingga di
usia yang ke delapan belas ia sudah meraih sabuk hitam Dan 2. Kejuaraan demi
kejuaraan ia menangkan. Anggi atlet kebanggan ibukota. Tapi bukan kebanggan
bagi Papa. Prestasi itu sungguh tak ada apa-apanya di mata Papa, malah bukan
itu yang Papa mau. Sebab di satu sisi, nilai rapotnya pas-pasan, standar, tidak
ada yang dibanggakan. Papa hanya ingin Anggi tumbuh normal seperti layaknya
anak perempuan lainnya, dengan prestasi akademik yang memuskan, agar kelak bisa
dijadikan pegangan untuk meraih masa depan yang cemerlang.
Anggi
memang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kakaknya. Jika Alvin
memiliki banyak teman, Anggi sebaliknya, ia sangat selektif memilih teman,
hanya beberapa saja yang bisa dekat dengannya. Dan ia sangat membatasi diri
dengan yang lain. Wajahnya dingin, tidak banyak bicara untuk orang yang tak
dekat dengannya. Benar, meski Anggi juga bintang, tapi bintangnya Papa yang
satu ini sinarnya menyilaukan mata.
Diam-diam
teman-teman pria Anggi, baik di sekolah, di kampus, maupun di dojang[1]
banyak yang menyimpan hati untuknya. Namun belum ada satu pun pria yang ia
gubris. Perempuan ini terlalu bebal untuk merasakan cinta. Kadang lucu sekali
ketika ia mendengar cerita cinta, membaca puisi cinta, kenapa orang begitu
bodoh karena cinta? Sebegitunya kah cinta? Cinta baginya hanyalah sebatas
dongeng pada novel-novel yang ia nikmati, tapi bukan berarti harus
menghinggapinya. Kelak, jika ia harus jatuh cinta, ia berharap tidak sebodoh
seperti kisah-kisah yang ia baca dan cerita yang ia dengar. Cinta itu mestinya
indah, dan jangan ada air mata. Hingga sampai saat ini ia lurus-lurus saja
dengan pria, semuanya ia anggap sebagai teman. Ia perlakukan datar saja, tanpa
memberi sinyal apa-apa. Jika ada pria yang nekat menyatakan perasaan kepadanya,
maka tanpa kata Anggi langsung menolaknya. Ia hanya menggeleng, menatap tajam
pria tersebut, tersenyum dingin, lantas berlalu begitu saja. Dan sudah banyak
pria yang menjadi korban penolakan sadis Anggi.
Aldebaran
ini memang menyilaukan. Tinggi, menyilaukan mata, panas, dan tak mudah
didapatkan, itulah Anggi, dan ia sangat menikmati kesendiriannya ini. Ia bahkan
sama sekali tidak khawatir tidak mendapatkan pacar seperti teman-teman
perempuannya yang khawatir jika tak punya pacar, apalagi umurnya sekarang sudah
delapan belas. Ia sama sekali tak butuh pacar, baginya pacar hanya akan mengganggu
langkahnya menjadi juara sejati. Baginya, juara sejati jangan sampai bermain
hati atau ia bisa mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar