Sabtu, 28 September 2013

Gaza, Math, dan Jeni


Di koridor lantai dua saat jam istirahat. Di depan kelas Gaza masih merenung, menghadap ke arah sekumpulan anak kelas satu di lapangan. Pandangannya nanar. 


Di lapangan, anak kelas X bermain basket, ada juga yang voli. Namun pikiran Gaza melayang, ia memikirkan sesuatu. 


Betapa cepatnya waktu. Sekarang ia sudah duduk di kelas tiga, beberapa bulan lagi ujian. Sebelum meninggal, almarhum Papa selalu berpesan agar Gaza belajar dengan baik. 


Sekarang Papa sudah tiada. Tetapi permintaan Papa agar Gaza bisa masuk universitas negeri. Itu harga mati. 


Gaza mendesah, gundah. Tadi dia dipanggil oleh Bu Ivy, guru BP. Bu Ivy bilang, Gaza sudah pasti tak bisa ikut seleksi ujian masuk perguruan negeri lewat jalur undangan. Sebab, meski sekarang nilainya meningkat secara drastis, tapi nilai saat ia kelas X dan Xl tidak mencukupi.


Gaza hanya bisa pasrah mendengar itu. Masih mungkin Gaza bisa masuk perguruan tinggi, tapi tidak lewat jalur undangan. Itu berarti dia akan mengikuti tes seleksi masuk perguruan tinggi negeri secara pribadi. Pasti sulit, sangat sulit. Jelas sulit, karena salah satu materi yang diujikan adalah matematika. Gaza tiarap untuk pelajaran itu. 


Kata Pak Tumpak, guru matematikanya, dia bukannya tidak bisa, tapi tidak minat. Di dunia ini tidak ada yang tidak bisa, semua bisa. Hanya mau atau tidak mau. Gaza salah satu anak yang tidak mau mempelajari matematika. 


Menurutnya matematika sangat tidak berfaedah. Tapi kini anggapannya salah. Nyatanya matematika menjadi salah satu materi yang diujikan untuk seleksi masuk perguruan tinggi negeri. 


Ia menyesal sudah menyia-nyiakan waktu dua tahun. Gaza dulu si anak berandal. Tawuran bak preman jadi gaya keseharian. Padahal orang tuanya tak kurang menasihatinya. Gaza bebal, setelah kepergian Papa, Gaza baru menyesal. Menyesali semuanya. Sekarang ia merangkak dari nol lagi. Terlebih wasiat Papa, Gaza mesti sukses, menjaga adik dan Mama. 


###


"Sst..itu Kak Gaza, sumpah keren!" bisik Caca, siswa kelas 1B pada Jeni.


Jeni belum merespons bisikan Caca, tapi dia menatap Gaza dari kejauhan. Iya, dia tahu itu Gaza, siswa kelas 3, mantan preman yang sekarang insyaf. Sebenarnya, sebelum masuk sekolah ini Jeni sudah pernah bertemu Gaza, saat Gaza sedang "mempersiapkan aksinya." 


Saat itu Gaza lagi nongkrong di pinggir jalan, dan Jeni melintas di depannya, tapi seketika Gaza menghalangi, dengan gayanya yang cuek dan cool Gaza mengatakan agar Jeni jangan dulu lewat daerah sini, sebab beberapa detik lagi akan terjadi peperangan. Jeni teringat lagi kejadian setahun kemarin.


"Eh, lu anak SMP Bayangkari ya? cepet hindari daerah ini kalau lu mau selamat, gue enggak jamin keadaan aman!"


Jeni memicingkan mata, "Suka-suka gue dong, gue mau lewat mana, ini kan jalan umum. Lagian ya, orang kayak kalian tuh yang harusnya minggir!" sentak Jeni.


"Yah ni bocah! Sayang lu cewek! Kalau enggak, udah gue....!"


"Udah apa? Lu mau ngapain gue, hah?" Jeni makin nyolot, membelalakkan mata indahnya. 


"Males gue urusan sama cewek, terserah lu deh! Gue udah ingetin!" ucap Gaza malas, sambil ngeloyor pergi meninggalkan perempuan berseragam putih biru yang keras kepala.


Tepukan tangan Caca di pundak Jeni seketika mengembalikan kesadarannya. Jeni melamun, mengingat pertemuannya dengan pria tampan, tapi preman. Gayanya urakan, tapi diam-diam Jeni mengagumi. 


"Jen....ssst Jen, lu jangan bengong, yuk kita main basket lagi, eeh lu mikirin siapa sih?" kata Caca tiba-tiba.


Jeni mengerjap, tersenyum pada Caca yang merobek lamunannya, menggeleng. Lalu perlahan kembali mendongak ke atas, tepatnya ke tempat Gaza berdiri. Dan pria yang sedang dipikirkannya sudah tidak ada. Entah sejak kapan hilangnya. 


"Abis ngeliatin Kak Gaza, yaaa. Ayo ngaku!" Caca menggoda setelah sadar dengan apa yang diperhatikan Jeni tadi. 


Jeni menggeleng cepat, mata indahnya membundar. 


"Ish, enggaklah. Masa gue suka sama cowok preman kayak dia!"


Caca tersenyum lebar melihat ekspresi Jeni yang serba salah. Ia tahu sekali, Jeni memendam rasa pada Gaza, tapi Jeni terlalu gengsi mengatakannya. 


Jeni lalu menarik tangan Caca meninggalkan lapangan menuju kantin. Sesampainya di kantin mata Jeni membelalak lagi. Gaza dengan malas sedang memakan siomai. Jantung Jeni berdegup tak karuan jika berada di dekat Gaza. 


"Ca, balik, yuk." Jeni menarik tangan Caca untuk mengurungkan niatnya ke kantin.


Tapi Caca cepat tanggap. Jeni berbuat begitu pasti karena pria bermata sipit yang tengah makan somay di seberang mereka. Caca malah membisikkan sesuatu pada Jeni, kontan Jeni menggeleng. Tapi Caca menarik tangan Jeni. 


"Kalau enggak sekarang, kapan,dong! Ayo ah, ntar nyesel keburu Kak Gaza lulus, lho!"


Dengan langkah berat dan wajah memerah bak kepiting rebus, Jeni menuruti Caca. 


Dengan santainya Caca menghampiri Gaza, ia duduk di depan Gaza, sementara Jeni berdiri mematung. 


"Halo Kak Gaza, boleh kenalan?" sapa Caca sok akrab. 


Gaza memandang gadis berambut kriting di depanya, sekilas, lalu kembali melanjutkan makan. Wajahnya acuh tak acuh dengan kedatangan Caca. Caca tampak tenang. 


"Kenalin, nama gue Caca, kelas XB, temen di sebelah gue namanya Jeni." Caca menoleh ke arah Jeni yang tampak grogi. Gaza bergeming, hanya menoleh sekilas ke arah mereka. 


Dengan senyum semringah, Caca menyodorkan tangannya, tapi Gaza tidak menyambutnya. Gaza malah membuang wajahnya. Ia paling tidak suka berurusan dengan cewek genit seperti mereka. Terlebih cewek yang berdiri di depannya, ia ingat. Anak ini dari kelas XB, dulu pernah membentaknya saat ia ingatkan untuk minggir. Cih, cewek judes dan galak, juga ia tak suka. Lantas mengapa sekarang keduanya mendatanginya, mengajak berkenalan. Jelas, itu bukan gayanya. 



Senyum di wajah Caca lenyap, ia menghela napas berat. Oke, dia tahu konsekuensinya beramah-tamah dengan pria dingin dan sombong di hadapannya. Baiklah, mungkin sepertinya ia akan menjelaskan pada Jeni, bahwa tak usah lagi mendekati atau bahkan mengagumi pria seperti Gaza.


"Sorry, ganggu waktunya ya, Kak Gaza!" ucap Caca tegas. Dia bangkit berdiri. 


"Ayo Jen. Sorry ya, gue udah buang waktu ngajak ke sini!"


Gaza menyeringai. Bukan salahnya kalau mereka pergi. Ia hanya tak suka. Tapi seketika ia teringat sesuatu. 


"Tunggu!" Gaza berteriak. Kedua cewek itu berhenti. Caca menoleh cepat. 


"Lo manggil kami, Kak?" Caca mengkonfirmasi. 


Telunjuk Gaza mengarah ke Jeni. "Elo Jeni kelas XB, pemenang olimpiade math kemarin, ya?" 



Gaza lalu berdiri, mendatangi juniornya tersebut. Menatap Jeni dalam. Jeni berusaha tenang, meski hatinya kebat-kebit. Kalau dulu ia bisa garang di depan Gaza, sekarang ia seperti kehilangan taringnya. 


"Iya bener, dia Jeni anak XB, yang kemarin …" 


Caca tersadar, ia tak menerukan kalimatnya. Gaza hanya menatap Jeni dalam. 


"Iya. Kenapa? Ada masalah sama gue?" jawab Jeni akhirnya. Jeni menjawab dengan lantang. 


Hati Jeni makin kebat-kebit. Pria ini jelas sekali berdiri di depannya. Wajahnya yang tirus, kulit putih bersih, mata sipit dengan sorotnya yang tajam. Ah, Gaza memang tampan meski sangat dingin tapi dia suka. 


"Kalau gitu, gue minta tolong. Ajarin gue math tingkat dasar. Gue butuh untuk ujian masuk. Universitas tahun ini. Gimana? Gue bayar berapa?"


Jeni membelalakkan matanya. Gaza tampan, dingin, juga sombong. 


"Gimana?" tanya Gaza lagi. 


Jeni bergeming. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...