Rabu, 20 November 2013

Karena Kita Berada Pada Frekuensi yang Sama

Karena kita berada di frekuensi yang sama....
 
Sebelum tulisan ini saya pernah mengatakan di tulisan sebelumnya, bahwa takdir kita ada bersama dengan beberapa takdir dari milyaran penduduk di muka bumi ini. Dan inilah takdir saya yang mengantarkan saya kepadanya. Berawal dari novel yang pernah saya tulis, terus Alhamdulillah terbit, dengan setting tempat negeri setenang matahari pagi, heheh kalau dipikir apa yang tenang ya? wong sewaktu-waktu diancam peperangan dengan saudaranya sendiri kok. Nah berawal dari itu semua, tiba-tiba saja, sebuah mention di twitter ada untuk saya.
 
Namanya Yuniasih Purwanti, masih muda, cerdas, energik, belakangan saya tahu kalau dia lulusan Akuntansi UGM, dia bilang, dia sudah baca novel saya, dan bolehlah saya kegeeran kalau saat itu dia bilang suka sama cerita dalam novel itu. Singkat kata kami sering komunikasi, tanpa pernah sekalipun bertemu muka, sebab beberapa bulan kami berkomunikasi, tiba-tiba saja dia sudah terbang lanjut studi pasca sarjana ke Negeri Ginseng di sana. Ooh...subhanallah, ngiri luar biasa, sekaligus kagum...hebat..akhirnya mimpi-mimpi yang dia inginkan tercapai.
 
Cerita pun berlanjut tak cuma sekedar mimpi, cita-cita, tatapan pada langit, tapi juga masalah rasa. Uhuk...dia banyak bercerita mengenai masalah rasanya untuk seseorang, dan dalam hati saya mencoba menyamakan frekuensi yang sebenarnya memang sama. Setahun lebih sudah kami banyak bertukar kisah, ya..masih tentang rasa juga. Kami bahkan bertekad akan mengabadikan rasa yang pernah ada dalam sebuah cerita yang mungkin bisa dijadikan pelajaran berharga dalam kisah. Bukan, bukan untuk mengulik luka, apalagi untuk mengenang sesuatu yang sudah tak patut lagi untuk dikenang, tapi sungguh hanya untuk dijadikan pelajaran dan pengalaman bagi mereka yang pernah mengalami kisah  yang sama seperti kami .
 
Sekarang rasa ini harus berganti dengan rasa berbeda, entah dengan apa dan siapa, bukan soal penting lagi bagi kami, yang terpenting ketika kami kehilangan rasa yang pernah ada, kami begitu bahagia, nothing to lose, lebih tenang, lebih bisa yakin bahwa Allah memiliki lebih dari seribu satu rencana indah, dan lebih yakin bahwa hidup memang harus terus berjalan. Dan belum ending jika belum indah, meski indah dengan ending yang sedikit berbeda dari yang kami kira.
 
Kini, kami masih berbicara tentang rasa, rasa akan mimpi-mimpi yang harus kita gapai, kami sudah berani menatap langit, merasakan sinar matahari pagi begitu hangat, merasakan derai hujan yang indah dan menyegarkan. Masih ada penggalan mimpi yang kami genggam erat-erat, dan suatu hari mimpi-mimpi itu harus menjadi sebuah bongkahan kisah nyata.
 
Sist Yuni, begitu aku menyapanya, dia mengajarkan padaku, bahwa hidup harus terus berjalan, bahwa bahagia terletak pada diri kita sendiri, bahwa mimpi hanya kita sendiri yang bisa mewujudkannya, tentunya dengan merayu-rayu Allah azza wa jalla, yang lain?? tidak perlu dipikirkan, cukup dijadikan sebuah lintasan kisah.
 
--allahulamabishowab--
 
(Lagi kangen sama obrolan dengan Sist Yuni  ^^ )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...