Sabtu, 01 September 2012

Batas Atmosfer- part 2

"Mbak Nira?" panggil seorang pria. 
Aku menoleh, Ooh ternyata Rifqi, juniorku di kampus. Satu jurusan, sekaligus orang yang cukup tahu tentang daftar hitamku di mata para dosen. Aku tersenyum, dengan mimik heran dia menghampiriku. Adakah yang ingin dia sampaikan? Tentunya dia heran bukan kepalang. Mahasiswi bandel seperti aku yang dulu ia kenal, sekarang berada di tengah-tengah peserta seminar internasional, undangan khusus pula. Astagfirullah, lagi-lagi aku merasa ujub. Ah kenapa jasad ini senang sekali menyombongkan diri!
"Apa kabar Qi," sapaku duluan.
"Baik Mbak Alhamdulillah, wah Mbak Nira di sini sedang apa?"
"Hah?" Aku mengernyitkan kening, tentu saja tak perlu menjawab pertanyaannya.
"Ooh, maaf Mbak, maksud saya kita ketemu lagi di sini. Emm, Mbak dari instansi mana?"
Rifqi meralat pertanyaannya.
"Aku menjulurkan kartu pers. "Tugas kantor Qi."
"Ooh, jadi benar ya Mbak Nira sekarang wartawan. Kenapa banting setir? Enggak coba ikutan test CPNS Mbak?" tanyanya memberondong.
Aku tersenyum dan menggeleng, bersamaan dengan gelenganku, suara dari MC membuka seminar. Meminta kami segera memasuki ruangan. Dan perbincangan tak penting dengan Rifqi itu pun terhenti.
***
Namanya Rifqi Hisyam. Lulusan dari SMA unggulan di Jakarta. Disebut-sebut Rifqi akan menjadi kandidat calon ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan. Selain pintar, dia juga memiliki skill organisasi yang baik. Tapi nanti jika dia sudah semester empat. Sekarang masih semester dua, dan ini jadi proyek dan tanggung jawabku selaku ketua departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Jurusan. Tugasku untuk Rifqi, Hafiz, dan Aryo adalah memberikan pembinaan yang berkaitan dengan kaderisasi kepemimpinan. Aneh memang, seorang perempuan sepertiku malah yang harus mengkader pria-pria hebat dan cerdas seperti mereka. Seharusnya ini adalah tugas dari Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan, tapi sayangnya Pak Ketua terlalu mempercayaiku, memberikan tugas berat ini pada seorang perempuan yang bukan apa-apa, apalagi tidak punya prestasi akademik yang menonjol. Aku hanya khawatir tidak bisa mengimbangi mereka.
"Nira, jangan minder. Kamu enggak punya IPK tinggi, bukan berarti enggak punya pengetahuan bagus. Ini hanya masalah nilai di atas kertas. Aku yakin, Kamu mampu mengimbangi mereka. Saat ini aku hanya percaya kamu!" kata Arga, sang ketua organisasi memberiku semangat.
Ternyata kekhawatiranku jadi nyata. Masalah muncul. Bukan dalam kerja di organisasi, sebab selama aku mengkader mereka di dalam organisasi semua berjalan mulus dan baik-baik saja. Masalahnya muncul saat aku mengambil mata kuliah yang tercecer, sehingga harus bersama dengan para junior, tidak tanggung-tanggung, dua angkatan di bawahku sekalian. Mereka itu ya Hafiz, Rifqi, dan Aryo. 
Ketiganya kaget, saat tahu di angkatanku, hanya aku seorang diri yang harus mengambil mata kuliah bersama mereka. Parahnya lagi, dosen mata kuliah tersebut, bukanlah dosen yang menyukaiku. Beliau sepertinya memandang aku dengan sebelah mata. Mungkin karena usia yang sudah lewat batas untuk mengambil mata kuliah bersama mereka. Pernah aku dibentak di dalam kelas oleh dosen tersebut. Pasalnya sederhana menurutku, tapi tidak untuk beliau tentunya. Sepekan yang lalu aku tidak masuk kelas. Memanfaatkan jatah absen 3 kali untuk mengikuti aksi turun ke jalan, memprotes kenaikan harga BBM bersama rekan-rekan mahasiswa yang lain. Entah siapa yang memberikan laporan tak penting itu pada dosenku, hingga berita aku turun ke jalan sampai ke telinga beliau. Lantas dengan kasar beliau mengatakan bahwa aku sudah menodai amanat yang diberikan oleh orang tuaku. Bukankah setiap orang tua menginginkan anaknya kuliah dengan manis tanpa ikut kegiatan yang aneh-aneh? apalagi jika bersifat mengancam akademik, jiwa, dan raga. Dengan berapi-apinya dosen tersebut menunjuk-nunjuk wajahku, lalu mengungkit dosa-dosaku di masa lalu. Seperti absen-absen yang pernah aku lakukan. Huh..lelah, bukankah mahasiswa yang lain juga melakukannya? memakai jatah absen, bahkan ada yang mereka manfaatkan untuk sekedar nongkrong di "base camp" masing-masing, atau malah bersantai di rumah. Tapi aku? Apa aku salah pakai jatah absen untuk ikutan turun ke jalan, bersama mereka yang masih memiliki idealisme, ciri khas mahasiswa. Mahasiswa yang darah terlalu panas. Seperti hari di mana aku dibantai oleh dosen tersebut, darahku panas hingga ubun-ubun. Namun aku tak punya nyali untuk menjawab, atau sekedar menatap wajahnya, aku tak sanggup. Aku hanya mampu tertunduk lesu, bak pesakitan yang rela terima tuduhan dari jaksa. Setelah ritual pembantaian itu selesai, Rifqi yang duduk di depan menoleh ke arahku. Sorot matanya iba, tapi mungkin juga kecewa. Ternyata senior yang mengkadernya selama ini tak sebaik dari apa yang ia bayangkan. Sementara Rifqi selalu berusaha menjadi mahasiswa manis, anak mas para dosen. 
Aku babak belur saat itu. Seratus menit perkuliahan, sepertiganya dipakai untuk melucuti semua dosa-dosaku. Aku dituduh sebagai mahasiswa lilin. Yang hebat dalam organisasi tapi babak belur dalam studi. Allah...ini memang salahku, manajemen waktuku buruk! Hasilnya luar biasa, setelah hari itu, Rifqi perlahan menjauh dariku, menjauh dari organisasi. Dia memilih untuk mendekati para dosen, mengerjakan setumpuk project penelitian ke berbagai daerah. Hingga Rifqi lulus cepat, akselerasi. Lagi-lagi nasibnya beruntung, lulus kuliah, lulus juga test CPNS nya di LIPI, bergengsi bukan? Sementara saat itu aku masih tertatih menyelesaikan skripsi. Hingga aku lulus dengan waktu yang nyaris habis, Hampir saja aku di DO jika terlambat satu semester lagi.
***
Dan hari ini sorot mata Rifqi berubah lagi padaku. Berubah heran tepatnya. Mungkin heran denganku, senior yang ia pikir sudah memiliki masa lalu suram, kini malah berada di tengah-tengah mereka yang mungkin riwayat akademiknya cemerlang. Salah satunya seperti Rifqi yang telah menamatkan S2 nya di Boston, USA. Dua tahun belakangan dia tidak terlalu banyak tahu tentang perkembangan di Indonesia. Dia tak tahu aku kini menjadi jurnalis di sebuah surat kabar nasional, dan memang tak perlu tahu. Biarlah dia cukup tahu aku yang kacau dan tak bisa dijadikan teladan. Terserah jika ia masih memandangku dengan sebelah mata.  Bahkan ia nyaris tak percaya aku ada dalam seminar internasional ini. Sebab memang tidak mudah untuk bisa berada di tengah-tengah komunitas para ilmuwan hebat ini.Ups..Astagfirullah, lagi-lagi kesombongan itu mencoba mendekapku!
***
Bersambung .........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...