“It’s a sweet memory
30’years ago when I was young. But now I believe Indonesian together with
Korean parteners are continuing the construsctions and bilateral cooperation
for the betterment of Indonesia.”
Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Korea
Selatan ketika melintasi mulusnya tol Jagorawi, menuju pabrik Garmen Korea di
kawasan Gunung Putri, Bogor. Kunjungan kerja tahun 2009 (artikel Rakyat Merdeka
2009, Kusmayanto Kadiman).
Lee Myung-bak, Presiden Korea Selatan, terpilih awal
tahun 2008. Lahir di Osaka-Jepang tahun 1941 dari pasangan petani miskin.
Ketika itu Korea Selatan masih di bawah kendali Jepang. Setelah itu mereka
tinggal di Pohang-Korea. Hidup dari keluarga miskin, menyebabkan ia harus rela
makan apa adanya, termasuk ampas gandum. Gigih, cerdas, dan pekerja keras,
itulah sosok Lee muda. Hingga sejak duduk di sekolah dasar hingga universitas
selalu melalui jalan beasiswa. Melanjutkan studi di Seoul National University, dan menjadi aktivitis permanen di sana.
Hingga gara-gara statusnya sebagai demonstran yang pernah merasakan dinginnya
lantai penjara, menyebabkan Lee kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Beberapa
kali Lee selalu ditolak saat melakukan lamaran pekerjaan di perusahaan, salah
satunya adalah Hyundai Group. Hingga suatu masa Lee melakukan protes dengan
menulis surat pada presiden Korea kala itu. Dia menuliskan betapa sulitnya
mencari lapangan pekerjaan hanya karena statusnya sebagai seorang demonstran.
Dari tulisan kecil inilah yang akhirnya mengubah jalan hidup Lee. Dengan kerja
keras dan kecerdasaannya hingga CEO Hyundai Group melirik dan memanggilnya
untuk bergabung di Hyundai Group dan menuai karir sukses di sana.
Tahun 1992, Myung-bak terjun dunia politik praktis.
Hingga ia akhirnya terpilih menjadi walikota Seoul. Setelah menjadi walikota
pun jiwa aktivitisnya masih melekat dalam diri Myung-bak. Ia melakukan banyak
perubahan dengan program-program Seoul sebagai kota ramah lingkungan. Banyaknya
taman kota sebagai penyeimbang pembangunan yang terus menerus tumbuh, sarana
transportasi yang memadai, taman bermain, fasilitas olah raga, sungai bersih,
hingga pemanfaatan sungai sebagai prasarana transportasi dan rekreasi. Dengan adanya
waterway di Seoul. Maka layaklah jika
Myung-bak mendapat gelar pejuang lingkungan versi majalah TIME.
Awal tahun 2008 Lee Myung-bak berhasil melenggang
menuju Blue House, melalui proses
pemilihan yang demokratis. Sebuah perjuangan panjang untuk bisa menghasilkan
sesuatu yang berharga. Tentunya bukan hanya dirasakan untuk pribadi, tetapi
juga bermanfaat untuk masyarakat luas.
Perjuangan Lee Myung-bak, seolah memaksa ingatan
saya saat membaca artikel tentang gigihnya Presiden Iran Ahmadi Nejad yang juga
berjuang mendobrak segala kebiasaan yang menghambat pembangunan bangsa. Lihat
saja Iran sekarang tumbuh menjadi negara insustri baru yang telah begitu jauh
melenggang meninggalkan Indonesia. Iran lepas dari pengaruh negara-negara
kapitalisme. Iran mencoba berdiri sendiri. Muncul pertanyaan dalam kepala.
Siapakah yang beruntung. Rakyat Korea dan Iran yang memiliki pemimpin sehebat
Lee Myung-bak dan Ahmadi Nejad? Ataukah kedua pemimpin negara tersebut yang
beruntung memeliki rakyat yang kooperatif dan mau bersama-sama melakukan
perubahan? Ah, entahlah saya tak tahu pasti.
Kini saya bermimpi, andai Jakarta memiliki pemimpin
berjiwa aktivis seperti Myung-bak. Berani mendobrak berbagai pernak-pernik
kotor yang sudah melembaga di Indonesia, tentunya seperti harapan Presiden
Korsel, Jakarta-Seoul bisa menjadi partner sejajar. Andai Sungai Ciliwung terberdaya
seperti Sungai Han. Dimanfaatkan dengan baik sebagai sarana transportasi dan
rekreasi. Andai fasilitas angkutan umum benar-benar mudah dan nyaman, hingga tak
perlu lagi suara bising klakson dari kendaraan pribadi yang memekakkan telinga
hanya karena tak sabar berada dalam antrian kemacetan panjang. Andai taman kota
di Jakarta tersedia cukup banyak, sehingga bisa menjadi penyeimbang Jakarta
yang terus tumbuh dalam pembangunan. Ah..andai, tanpa mengecilkan kota tempat
saya dibesarkan dan tempat saya berpeluh-peluh mencari sesuap nasi. Saya akan
memejamkan mata dan bermimpi lagi. Jakarta seindah Seoul. Sehingga tak perlu
lagi ada kiblat Hallyu besar-besaran yang utopis karena Jakarta sudah mampu
menjadi twin city Seoul. Bermimpi
sajalah, meski tak tahu kapan terwujud. Namun bukankah semua yang sudah kita
dapatkan di hari ini adalah hasil dari mimpi-mimpi kita di hari kemarin? Sama
seperti mimpi Korea Selatan yang ingin mengungguli Jepang (negara penjajahnya)
dan kini berbondong-bondong Seoul menjadi destinasi wisata, tak kalah dari
Tokyo. Sekedar catatan saja, Korea merdeka dari penjajahan Jepang pada tanggal
15 Agustus 1945, hanya lebih dua hari saja dari kemerdekaan Indonesia.
So..tahukah Anda apa yang menyebabkan Lee Myung-bak
merasakan memory manis saat melintasi tol Jagorawi? Hmm, sebab dialah yang
menjadi kontraktor pembangunan tol tersebut di era pemerintahan Presiden
Suharto, saat berusia 30 tahun. Maka perjalanan manis itu kembali mengingatkan
atas hasil keringatnya membangun jalan tol yang mulus untuk Indonesia. Semoga
Jakarta bisa belajar dari Seoul.
(referensi: hasil selancar
di Internet, artikel Rakyat merdeka-tulisan Kusmayanto Kadiman, yang dibukukan
oleh PT Gramedia, dalam buku berjudul: Sains dan Teknologi, jika dalam
tulisan ini ada data yang tidak benar, mohon diralat.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar