Sabtu, 15 September 2012

catatan keprihatinan (Rohis is Peace) - Siapa Penebar Teror? Kami atau Mereka?


Siapa penebar teror? Kami atau Mereka? Menuduh tanpa bukti adalah sandiwara sampah! Geram mendengar berita-berita sampah yang memojokkan Islam, terlebih saat mendengar berita dari salah satu media yang mengatakan Rohis adalah tempat perekrutan awal bagi teroris beraksi. Adakah survey sudah dilakukan? Atau hanya persangkaan belaka sebagai penebar fitnah murahan? Dan saya akan bongkar, aktivitas apa saja yang kami lakukan di dalam tubuh organisasi bernama ROHIS.
Awal tahun 2002, saat saya masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Kala itu entah apa sebabnya ada resah yang melanda di dalam dada. Ketika kantin dan perpustakaan bukan lagi menjadi destinasi favorit untuk menghabiskan waktu istirahat. Hingga bangunan sederhana di pojok sekolah menjadi pilihan untuk menghabiskan waktu istirahat jam pertama. Waktu dhuha.
Entah ada angin apa yang membuat kaki ini melangkah ke mushola kecil untuk menunaikan sholat dhuha, padahal kala itu boro-boro sholat sunnah, solat wajib lima waktu bisa tertunaikan saja sudah sebuah prestasi bagi saya. Dan ada satu lagi alasan bagi saya untuk malas berlama-lama di mushola, apalagi jika bukan karena malas berinteraksi dengan komunitas jilbaber. Lihat saja, saat itu penampilan saya dengan mahluk-mahluk jilbaber itu berbeda. Saya tomboy, mereka tidak. Saya slebor, mereka santun. Sebisanya saya menghindari muslimah jilbaber, sebab jilbab bagi saya kala itu membuat “sesak nafas” tak bisa bebas beraktivitas.
Tapi namanya berbekal cuek dan nekat, saya santai saja melangkah ke dalam mushola. Tampak para jilbaber sedang merapikan mukena. Saya menggelengkan kepala. Pekerjaan sia-sia, padahal toh setelah mereka merapikan mukena juga nantinya akan berantakan lagi oleh oknum tak bertanggungjawab seperti saya, hehee. Yang pakai mukena terus melipat ala kadarnya. Lagi pula siapa yang mewajibkan mereka untuk melakukannya? Guru? Saya rasa tidak. Memangnya mereka dapat nilai tambah karena merapikan mukena? Memangnya juga mereka mendapat bayaran dari aktivitasnya? Ah lagi-lagi sepertinya tidak.
Selesai sholat dhuha, saya tetap menjaga jarak dengan mereka, yang notebenenya adalah teman-teman saya sendiri. Sudah saya katakan di awal, saya tidak mau terlalu banyak berinteraksi dengan mereka. Tapi mata saya tertuju pada deretan novel remaja dan majalah Islami di rak buku, sebelah rak mukena. Mau tak mau melakukan interaksi juga, karena butuh. “Eh, gue boleh pinjem bukunya?” itu pertanyaan saya waktu itu-kalau tidak salah inget- dan mereka membolehkan. Alhasil setelah itu selalu ada alasan saya untuk balik lagi ke mushola sekolah. Karena bukunya bagus-bagus. Cukup!
Tapi sholat dhuha berikutnya, resah makin melanda. Terlebih setelah membaca novel-novel Islami dan majalahnya. Entah resah apa lagi. Tapi yang pasti saya makin malu dengan penampilan saya. Saya belum menutup aurat dengan sempurna. Haruskah saya memakai jilbab? Haruskah? Padahal saya yang begitu keras menghindari para jilbaber, meski tidak memusuhi.
Singkat kata saya memutuskan pakai jilbab, setelah tiga hari berturut-turut bermimpi memakai jilbab. Inikah hidayah? Ah, kala itu saya tidak tahu. Tepat hari jumat, saya pakai jilbab. Kaget? Tentu saja. Orang-orang terdekat saya sama sekali tak menyangka saya pakai jilbab. Bahkan ada yang mengejek, bertaruh saya pakai jilbab hanya sementara. Ada pula yang menertawakan terang-terangan. Well, ini resiko. Tapi siapa yang pertama kali merangkul saya? Ya, mereka. Para komunitas yang awalnya ingin saya hindari. Justru mereka yang datang dan mendekati saya. Memberikan selamat dan penguatan. Bahkan menawarkan untuk mengikuti kajian keislaman. Saya tanya dulu, tentang apa? “tentang cinta!” jawab teman saya. Hmm, ini nih yang bikin saya semangat datang. Apalagi namanya jika bukan karena cinta yang begitu melekat sama dunia remaja.
Sabtu siang, lepas pulang sekolah kami berkumpul membuat lingkaran kecil di mushola tersebut. Hanya wanita semua, yang pria mungkin juga, tapi saya tidak tahu apa yang para pria lakukan, karena kami pasukan terpisah. Terpisah antara pria dan wanita. Pemateri adalah senior saya sendiri yang tidak saya kenal sebelumnya. Muslimah smart, lulusan dari perguruan tinggi negeri di Bandung. Selain smart juga santun, dan tidak keras. Ramah dan tidak suka main vonis. Ok deh pokoknya. Dan sejak itulah saya selalu punya alasan untuk tetap ikut kegiatan ROHIS.
Kami anak Rohis, diajarkan bagaimana untuk terus mempertahankan hidayahNya yang telah menyapa. Kami anak Rohis, tidak eksklusif, kami hanya belajar bagaimana caranya menebar cinta dan menularkan agama yang penuh rahmat ini pada sesama. Rujak party, Ice Cream Party, Spageti Party yang jadi selingan di antara kajian-kajian serius kami. Kami anak Rohis belajar untuk mengoptimalkan kemampuan diri. Bukan dengan merakit bom, senapan, mesiu, atau untuk melakukan makar dan meneror penduduk bumi. Aktivitas kami yang lainnya, tidak terlepas dari acara olahraga, menulis, bernyanyi (nasyid) hingga berakting (teater) tapi tetap berpedoman syar’i. Dan kini pantaskah kami generasi bangsa yang ingin tumbuh menjadi baik, malah dituduh penebar teror. Siapa penebar teror? Kami atau Mereka?
Salam Damai dari kami- Anak Rohis ^_^V
Allahualambishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Sulit Mengelola Ide

Malam ini saya hanya sekedar berbagi  ringan tentang permasalahan ide. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi yang bertahun-tahun...